JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menonaktifkan 75 pegawai yang dinilai tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Tes tersebut menjadi bagian dari proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko menjadi salah satu orang yang masuk dalam daftar 75 pegawai tersebut.
Sujanarko menilai keputusan hasil TWK merupakan keputusan dari salah satu pimpinan KPK.
Padahal seharusnya sistem kepemimpinan di lembaga antikorupsi itu bersifat kolektif kolegial.
Baca Juga: Direktur KPK Sebut Pegawai yang Tak Lolos TWK Pernah Periksa Firli Bahuri
Namun dia tidak menyebutkan nama pimpinan yang dimaksud.
Perlu diketahui saat ini terdapat lima pimpinan KPK yakni Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Lily Pantauli Siregar, Alexander Marwata, dan Nawawi Pomolango.
"Saya terus terang pesan kepada 4 pimpinan lain, pertama sebetulnya, sistem kepemimpinan KPK itu kolektif kolegial, jadi harusnya satu orang tidak bisa mengendalikan organisasi, siapapun itu," kata Sujanarko dikutip dari tayangan YouTube Haris Azhar, Rabu (12/5/2021).
Lebih lanjut, dia menantang empat pimpinan KPK untuk dapat menggunakan hati nurani dan lebih berani mengambil sikap khususnya terkait 75 pegawai yang dibebastugaskan ini.
"Saya tantang di forum ini, empat pimpinan yang lain lebih menonjolkan hati nurani lah, harus lebih berani. Publik harus menagih mereka, karena gaji mereka dari negara besar loh, jadi jangan sampai dipersepsikan," tegas dia.
Baca Juga: Sujanarko: Tujuan Awal Asesmen Wawasan Kebangsaan untuk Pemetaan, Bukan Penonaktifan Pegawai KPK
Dalam kesempatan itu, Sujanarko juga menyoroti terkait budaya di KPK yang memiliki kode etik, yakni pimpinan KPK saat menemui pejabat tinggi negara tidak boleh seorang diri,
"Budaya KPK mulai jilid 1 sampai jilid 4, pimpinan setiap ketemuan orang lain, terutama yang high profile itu tidak pernah sendirian. Dan hari ini tolong dicek, apakah pimpinan KPK itu ada yang jalan sendiri-sendiri. Itu masuk kode etik," jelas Sujanarko.
Dia kemudian menjelaskan alasannya. "Kenapa harus berdua? pertama ada saksi, jadi kalau dia berkomitmen yang tidak untuk kepentingan KPK ada yang mengingatkan," lanjut dia.
Baca Juga: BW Sebut SK Penonaktifan 75 Pegawai KPK Bertentangan dengan Putusan MK: Ini Pelanggaran HAM
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.