Severity: Notice
Message: Undefined property: stdClass::$iframe
Filename: libraries/Article_lib.php
Line Number: 241
Backtrace:
File: /var/www/html/frontendv2/application/libraries/Article_lib.php
Line: 241
Function: _error_handler
File: /var/www/html/frontendv2/application/controllers/Read.php
Line: 85
Function: gen_content_article
File: /var/www/html/frontendv2/index.php
Line: 314
Function: require_once
Cak Nun rela menjadi manusia ruang. Mau menampung semuanya, sebagai keranjang sampah, sampai tidak ada tempat bagi dirinya sendiri.
Semua eksistensinya dibuang. Silahkan mau sebut budayawan, penyair, kyai, terserah.
Sebutan itu nggak penting. Tuhan juga nggak ngurusi gelar manusia, yang penting bermanfaat bagi orang lain.
Atas semua hal, saya selalu ingat puisi Mbah Mus (Mustofa Bisri) tentang sosok Cak Nun:
Santri tanpa sarung,
Haji tanpa peci,
Kiai tanpa sorban,
Dai tanpa mimbar,
Mursyid tanpa tarekat,
Sarjana tanpa wisuda,
Guru tanpa sekolahan,
Aktifis tanpa LSM,
Pendemo tanpa spanduk,
Politisi tanpa partai,
Wakil rakyat tanpa dewan,
Pemberontak tanpa senjata,
Kstaria tanpa kuda,
Saudara tanpa hubungan darah.
Saya secara pribadi merasakan ketepatan ungkapan Gus Mus ini, Cak Nun bukan ulama, tapi kualitasnya lebih dari ulama.
Cak Nun “ngantor” menemui jamaah hampir 24 jam tiap hari. Sakit pun tetap berangkat. Bagi orang seperti Cak Nun, sakit itu anugerah, sama seperti sehat.
Hampir setiap hari saya di Ndalem Kasepuhan padang bulan Menturo - Jombang menerima tamu yang ingin bertemu Cak Nun (walau Cak Nun sendiri tidak di tempat) dengan berbagai macam keperluan.
Begitu juga kalau di Jogja. Pada setiap puncak forum pengajian/Maiyahan Cak Nun hampir tiap hari
kerjanya meniup air mineral yang disodorkan oleh para 'pasien' Jamaah.
Cak Nun sadar, beliau tidak bisa menyembuhkan, tapi juga tidak bisa menolak mereka.
Untuk masalah ini, Cak Nun pernah bilang. "Ya Allah Engkau yang mendatangkan mereka dan kau yang memberikan ide pada mereka untuk datang ke saya. Jadi kau yang bertanggung jawab. Tolong sembuhkan mereka."
Bagi saya pribadi yang paling asyik dari Cak Nun adalah pemikirannya yang revolusioner.
Melampaui zaman nya. Kita lihat ke belakang, beliau yang begitu gigih memperjuangkan jilbab dimana-mana.
Saat perusahaan dan kampus - kampus melarang karyawan atau mahasiswi nya berjilbab.
Sampai begitu pede mementaskan drama kolosal "Lautan Jilbab" (1987), padahal saat itu hanya ada segelintir orang yang berjilbab.
Lihatlah sekarang, “hijaber” memenuhi penjuru negeri. Istilah nya nggak cuman lautan tapi samudera jilbab.
Tapi sedikit yang tahu siapa pahlawan dibalik kemerdekaan berjilbab.
Cak Nun juga yang datang di tengah konflik antara orang Dayak dan Madura. Dan sukses mendamaikan mereka.
Juga waktu kasus waduk Kedungombo. Belum lagi soal peranan beliau menjelang Reformasi Mei 1998 saat membujuk Pak Harto turun.
Diksinya ketika itu begitu popular “Gak dadi presiden Gak pathek en'
Tapi ya sudahlah.. sebagai adik bungsu, saya selalu kangen menunggu momentum ucapan Cak Nun ketika pulang ke rumah keluarga Jombang, saat Majelis Padhang Mbulan digelar setiap malam bulan purnama
"Rid biasae ya, kopi panas" dan saya tersenyum, karena tau betul takaran pahitnya racikan kopi beliau.
Akhirnya Sugeng ambal warso Cak, Semoga tetep istiqomah menemani dan membesarkan hati rakyat.
Memberi alternatif cara berpikir yang terbuka. Yang sangat membuka pori-pori kecerdasan. Menentramkan, Takdzim.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.