Severity: Notice
Message: Undefined property: stdClass::$iframe
Filename: libraries/Article_lib.php
Line Number: 241
Backtrace:
File: /var/www/html/frontendv2/application/libraries/Article_lib.php
Line: 241
Function: _error_handler
File: /var/www/html/frontendv2/application/controllers/Read.php
Line: 85
Function: gen_content_article
File: /var/www/html/frontendv2/index.php
Line: 314
Function: require_once
Tetapi, menurut Taliban, kaum mayoritas telah dilupakan oleh pemerintah pusat (Kabul), dipimpin oleh para pemimpin non-Pashtun yang korup dan tidak adil.
Ketidakhadiran pemerintah yang dirasakan rakyat, dimanfaatkan oleh Taliban. Dengan kata lain, Taliban—yang mayoritas Pashtun—berusaha membangkitkan sentimen dan kebencian etnis.
Seth G Jones (2009) menulis, “Strategi Taliban adalah sangat inovatif dan efektif. Tidak seperti Soviet, mereka memfokuskan upaya awal mereka pada upaya dari bawah di pedesaan Afghanistan, khususnya Pashtun selatan. Mereka mendekati para pemimpin suku dan komandan milisi, serta para pendukung dan ... menawarkan untuk mengembalikan kendali Pasthun atas Kabul, yang saat itu dipimpin Rabbani (Tajik)... Para pemimpin Taliban yang mampu berbicara dengan dialek lokal melakukan perjalanan ke desa-desa Pashtun dan pusat-pusat kebupaten.”
Inilah sebabnya, mereka begitu cepat dapat menguasai Afganistan. Menurut seorang cendekiawan Pashtun yang kemudian menjadi banker di bawah Presiden Hamid Karzai, Anwar-ul Haq Ahady, bagi banyak orang Pashtun, ketakutan marjinalisasi Pashtun “lebih penting, lebih berarti dibandingkan jatuhnya komunisme…Naiknya Taliban membangkitkan optimisme di antara orang Pashtun akan kembalinya kejayaan mereka.”
Pemimpin Taliban saat itu, Mullah Mohammad Omar (sekarang Haibatullah Akhundzada menggantikan Mullah Mansoor, yang tewas dalam serangan udara AS di Pakistan pada tahun 2016), sangat memahami hal itu, politik kesukuan Afganistan, dibanding orang lain.
Akhir tahun 1996, mereka merebut Kabul dan menjatuhkan pemerintahan pimpinan Presiden Burhanuddin Rabbani, yang dianggap anti-Pashtun dan korup. Sejak itu, Taliban menguasai hampir seluruh Afganistan, sebelum disingkirkan pada tahun 2001.
Pada bulan Desember 2001, digelar Konferensi Internasional mengenai Afganistan di Bonn, Jerman. Dalam konferensi dibentuk pemerintahan sementara Afganistan, yang dipimpin Hamid Karzai.
Konferensi dihadiri para pemimpin anti-Taliban, para pemimpin yang ikut memimpin perang melawan Uni Soviet, pada tahun 1980-an. Selain itu, dilibatkan juga para tokoh masyarakat yang diperkirakan dapat menghalangi proses state-building (Grant Farr, 2018).
Kelompok Taliban, benar- benar disingkirkan, secara politik juga secara militer dengan terjadinya invasi militer oleh AS dan sekutunya yang memburu pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, setelah tragedi 9/11. Bahkan, pada Desember 2001, Wakil Presiden AS Cheney menyatakan, “Taliban tidak dilibatkan, seterusnya.”
Akan tetapi, Taliban tidak tinggal diam. Kelompok ini terus berusaha untuk bangkit lagi, dan terus melakukan gerakan perlawanan. Awal 2005 gelombang pasang mulai berubah. Taliban, di bawah kepemimpinan Mullah Omar, dan dengan dukungan Pakistan dan negara-negara lainnya, mulai menegaskan kembali diri mereka.
Pada 2006, Taliban telah membuat kemajuan yang signifikan, terutama di Afghanistan selatan dan timur di mana suku-suku Pashtun bersimpati dengan agenda Taliban.
Sementara AS dan sekutunya yang sejak tahun 2001 masuk Afganistan, terus melakukan operasi militer. Tetapi harga yang harus dibayar sangat mahal.
Secara keseluruhan hingga 2019, jumlah korban tewas mencapai sekitar 157.000 orang (2.298 personel militer AS; tentara dan polisi nasional Afganistan sebanyak 64.124 personel; pihak Sekutu/NATO sejumlah 1.145 personel; tentara oposisi sebanyak 42.100 orang; wartawan dan pekerja media sejumlah 67 orang, dan LSM kehilangan 424 orang ); lebih dari 43.074 orang di antaranya adalah penduduk sipil (Neta C. Crawford dan Catherine Lutz; 2019).
Hingga tahun 2018, Taliban menguasai lebih dari 40 persen propinsi di Afganistan. Sementara. Menurut Laporan Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) yang diterbitkan pada Januari 2019, wilayah yang dikuasai pemerintah Kabul adalah dihuni oleh 63,5 persen penduduk Afghanistan.
Jumlah tersebut 1,7 persen lebih rendah dari kuartal sebelumnya; sementara itu Taliban menguasai 10,8 persen penduduk. Dengan kata lain, pemerintah mengendalikan lebih dari setengah dari total wilayah Afghanistan, sisanya dikuasai Taliban dan masih terus diperebutkan.
Kini di bawah kepemimpinan Haibatullah yang pada umumnya dipandang “lebih sebagai seorang cendekiawan Islam ketimbang ahli siasat militer” (Shubhangi Pandey, 2019), Taliban lebih kompak dibanding sebelumnya, dan memperoleh banyak kemajuan dalam bidang militer. Taliban sekarang memiliki sekitar 60.000 petarung.
Prospek Perdamaian
Kiranya uraian di atas cukup memberikan gambaran “seperti apa” kelompok Taliban itu. Kelompok ini di mata masyarakat internasional, dikenal sebagai kelompok yang tidak toleran serta tidak menghormati hak-hak asasi perempuan.
Padahal, awal tahun 1960-an, konstitusi Afganistan memberikan jaminan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memberikan sumbangan penting bagi pembangunan nasional. Pada tahun 1977, ada sekitar 15 persen anggota legislatif adalah perempuan.
Diperkirakan pada awal 1990-an, 70 persen guru sekolah, 50 persen pekerja pemerintah dan mahasiswa, dan 40 persen dokter di Kabul adalah perempuan. Para perempuan Afganistan aktif dalam organisasi-organisasi kemanusiaan sampai Taliban memberlakukan pembatasan-pembatasan.
Menurut Zahcary Laub, setelah berkuasa Taliban lupa pada janjinya di awal mula. Mereka lebih menekankan urusan-urusan yang berkaitan dengan agama.
Mereka, antara lain, mengharuskan kaum perempuan untuk mengenakan burqa atau chadri; melarang musik dan televisi. Bahkan, kaum laki-laki yang jenggotnya dianggap terlalu pendek, dipenjara.
Biro Demorkasi, Hak-Hak Asasi Manusia dan Buruh, Kementerian Luar Negeri AS ( 2001) mengungkapkan, Taliban melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan, termasuk pemerkosaan, penculikan, dan pernikahan paksa.
Beberapa keluarga terpaksa mengirim anak perempuan mereka ke Pakistan atau Iran untuk melindungi mereka. Kaum perempuan Afghanistan dilarang untuk bekerja.
Amnesti Internasional menyatakan, di masa Taliban berkuasa kaum perempuan dilarang sekolah, dilarang bekerja, dilarang meninggalkan rumah tanpa pengawal, dilarang mendapatkan pelayan kesehatan bila petugas kesehatannya laki-laki, tak mendapatkan akses pada kesehatan dan kaum perempuan juga dilarang terlibat dalam urusan politik dan berbicara di depan umum.
Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan kondisi lapangan seperti tersebut di atas, maka keberhasilan perundingan perdamaian dengan Taliban di Doha, Qatar akan tergantung pada keberlanjutan pengaturan pembagian kekuasaan antara pemerintah Kabul dengan Taliban.
Konferensi Bonn (2001) yang sama sekali menyingkirkan Taliban, tidak memberikan perdamaian sesungguhnya pada Afganistan.
Oleh karena itu, kesepakatan politik yang dituangkan dalam kertas perjanjian harus benar-benar bisa diwujudkan. Bila tidak, maka perjanjian perdamaian akan berumur pendek. Meskipun, kecil kemungkinan Taliban akan menggunakan lagi cara-cara kekerasan seperti sebelumnya, karena cara itu sama sekali tidak mendapat dukungan rakyat, terutama kaum perempuan. Namun, Afganistan akan terus mengalami instabilitas politik dan akan terus menghadapi pemberontakan.*
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.