Oleh: Abie Besman, Jurnalis Senior Kompas TV
Dalam era digital saat ini, peran influencer semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam politik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering mengundang influencer untuk terlibat dalam kebijakan dan proyek pemerintahan seperti ajakan sejumlah selebriti untuk mengunjungi Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Langkah ini memicu perdebatan tentang bagaimana fenomena influencer berinteraksi dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Undangan terhadap beberapa influencer terkenal seperti Raffi Ahmad, Nagita Slavina, Atta Halilintar, Gading Marten, Ananda Omesh dan nama-nama lain ke IKN bertujuan untuk meninjau infrastruktur yang sedang dibangun, seperti jalan tol dan Jembatan Pulau Balang.
Langkah ini disambut dengan berbagai reaksi, mulai dari dukungan hingga kritik tajam. Kritik utama datang dari pihak yang melihat keterlibatan influencer sebagai upaya instan untuk memoles citra positif IKN di tengah lambatnya perkembangan proyek tersebut.
Baca Juga: 1.000 Mobil Disewa untuk HUT RI di IKN, Tarif Naik Gila-gilaan: Sewa Alphard Jadi Rp25 Juta Sehari
Keterlibatan influencer dalam kebijakan pemerintahan bukanlah solusi untuk masalah substantif yang ada. Sebaliknya, ini mungkin mencerminkan kepanikan Jokowi karena kurangnya minat dari investor asing serta lambatnya progres pembangunan yang mungkin tidak memenuhi ekspektasi publik dan investor.
Dalam konteks ini, pengundangan influencer dapat dianggap sebagai langkah untuk mendapatkan validasi instan.
Influencer, dengan pengaruh dan jangkauan mereka di media sosial, dianggap mampu menyebarluaskan pesan positif dan menarik perhatian publik. Namun, pertanyaannya adalah apakah validasi dari influencer benar-benar mampu menggantikan substansi kebijakan dan efektivitas pembangunan?
Manuel Castells, seorang sosiolog Spanyol yang terkenal dengan teorinya tentang "The Network Society", memberikan perspektif penting tentang bagaimana jaringan digital membentuk dan mempengaruhi komunikasi sosial, politik, dan ekonomi di era modern.
Castells menguraikan bahwa dalam masyarakat jaringan, komunikasi digital menjadi alat utama untuk membentuk opini publik dan menciptakan realitas sosial.
Dalam konteks ini, penggunaan influencer oleh Jokowi bisa dipahami sebagai bagian dari strategi komunikasi digital yang lebih luas, di mana validasi dan dukungan publik dicari melalui jaringan sosial yang dibangun oleh para influencer.
Namun, Castells juga mengingatkan bahwa komunikasi digital tidak selalu menjamin substansi dan kedalaman dalam pembahasan isu-isu penting. Validasi yang diperoleh melalui media sosial bisa bersifat sementara dan superfisial, serta tidak selalu mencerminkan kenyataan di lapangan.
Oleh karena itu, meskipun influencer dapat membantu menyebarkan pesan positif, mereka tidak bisa menggantikan kebutuhan akan kebijakan yang berbasis pada data dan analisis yang mendalam.
Citra digital dibentuk melalui berbagai cara, termasuk posting media sosial, interaksi dengan pengikut, dan kolaborasi dengan pihak lain, seperti influencer. Dalam konteks pemerintahan, citra digital digunakan untuk membangun reputasi dan memperoleh dukungan publik.
Penggunaan influencer adalah salah satu strategi untuk memperkuat citra digital pemerintah dengan harapan bahwa dukungan dari tokoh populer akan meningkatkan kepercayaan publik. Namun, citra digital bisa bersifat superfisial dan tidak selalu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.
Validasi instan yang diberikan oleh influencer mungkin tidak menggambarkan keadaan sebenarnya dari proyek atau kebijakan yang sedang dijalankan. Akibatnya, ada risiko bahwa publik bisa disesatkan oleh citra positif yang tidak berdasar pada realitas.
Hal ini bukan sesuatu yang baru. Dengan nafas yang sama, ini sudah dilakukan di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Pada era Soekarno, kekuasaan eksekutif sangat dominan, dan pemerintah sering menggunakan simbolisme dan orasi untuk mendapatkan dukungan publik.
Soekarno dikenal dengan gaya kepemimpinan yang sangat karismatik dan penggunaan pidato-pidato besar untuk menginspirasi rakyat. Namun, cara ini terkadang juga menutupi kekurangan dalam pelaksanaan kebijakan dan manajemen ekonomi.
Pada era Soeharto, validasi sering didapatkan melalui pencitraan kekuatan dan kestabilan. Pemerintahan Soeharto cenderung menggunakan berbagai cara untuk memperlihatkan kemajuan dan keberhasilan, meskipun sering kali di balik layar terdapat berbagai masalah.
Selama masa Orde Baru, pemerintah melakukan upaya besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur dan ekonomi yang terlihat, namun sering mengabaikan hak asasi manusia dan kebebasan sipil.
Di kedua era tersebut, ada kesamaan dalam hal mencari validasi publik untuk kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, metode yang digunakan berbeda. Pada era Soekarno, validasi datang melalui retorika dan simbolisme, sementara di era Soeharto, lebih banyak melalui pembangunan fisik dan pencitraan kekuatan.
Dalam konteks Jokowi, penggunaan influencer bisa dianggap sebagai upaya untuk mendapatkan validasi yang lebih kontemporer dan langsung, namun apakah ini solusi yang efektif dan berkelanjutan?
Salah satu kritik terhadap keterlibatan influencer adalah bahwa ini mencerminkan kehausan akan validasi instan yang menggantikan substansi kebijakan. Dalam konteks pemerintahan, validasi dari influencer bisa menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi, mereka memiliki kekuatan untuk menjangkau audiens yang luas dan mempengaruhi opini publik. Di sisi lain, validasi ini mungkin tidak mencerminkan realitas di lapangan dan bisa jadi tidak cukup untuk menyelesaikan masalah mendasar.
Jokowi mungkin menghadapi tantangan dalam hal mendapatkan dukungan dan minat dari investor asing, serta dalam mengatasi berbagai tantangan pembangunan di IKN.
Mengandalkan influencer untuk menciptakan citra positif bisa jadi hanya langkah sementara yang tidak menyelesaikan masalah-masalah substantif yang ada. Jika kebijakan tidak didukung oleh rencana yang solid dan implementasi yang efektif, validasi dari influencer tidak akan mampu mengubah hasil akhir.
Kehausan akan validasi ini juga mencerminkan kekurangan dalam strategi komunikasi pemerintah. Di era Soekarno dan Soeharto, meskipun ada upaya untuk memoles citra, mereka juga menghadapi kritik atas kurangnya transparansi dan akuntabilitas.
Penggunaan influencer dalam konteks Jokowi menambah dimensi baru dalam pencitraan publik, tetapi tidak dapat mengesampingkan kebutuhan untuk kebijakan yang transparan dan bertanggung jawab.
Dalam demokrasi langsung, partisipasi publik dan transparansi adalah kunci. Mengandalkan influencer mungkin dapat meningkatkan visibilitas proyek-proyek pemerintah, tetapi tidak boleh menjadi pengganti untuk keterlibatan publik yang lebih luas dan mendalam.
Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan dan proyek yang dijalankan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat, bukan hanya sekadar mencari validasi instan melalui popularitas di media sosial.
Citra digital yang dibangun melalui influencer harus didukung oleh kenyataan yang kuat dan kebijakan yang efektif. Jika tidak, pemerintah hanya akan menciptakan ilusi kesuksesan yang tidak berdasar.
Baca Juga: Istana Pastikan Seluruh Menteri Bakal Hadir di IKN pada 12 Agustus 2024, Ada Apa?
Keterlibatan influencer dalam kebijakan pemerintahan harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Apakah ini benar-benar berkontribusi pada pembangunan dan kemajuan, ataukah hanya kosmetik pada kebijakan yang mungkin membutuhkan lebih dari sekadar citra positif untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Pada akhirnya, validasi instan dari influencer tidak boleh menggantikan substansi kebijakan yang kuat dan implementasi yang efektif. Pemerintah harus fokus pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik untuk mencapai hasil yang nyata dan berkelanjutan.
Citra digital adalah alat yang kuat, tetapi harus digunakan dengan bijak dan disertai dengan tindakan nyata yang mendukung tujuan-tujuan kebijakan yang sesungguhnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.