Oleh: Trias Kuncahyono
Di balkon timur biara Le ancelle del Sacro Cuore, Pelayan Hati Kudus, Napoli, kami berdiri, pagi itu. Ditemani Madre (Ibu) Anna, pemimpin tarekat itu, kami memandangi Gunung Visivius, di arah timur. Tidak terlalu jauh. Hanya 9 kilometer dari kota.
Gunung yang menyimpan banyak cerita itu terlihat biru. Indah. Kami seperti melihat Gunung Merapi dan Merbabu dari Yogya atau melihat Gunung Sindoro dan Sumbing dari Magelang. Gunung Visivius itu berpasangan dengan Gunung Soma; seperti Merapi dan Merbabu, Sindoro dan Sumbing.
Dibanding Gunung Merapi, Gunung Visuvius, lebih rendah. Yakni, hanya 1.281 meter (menurut ukuran ketinggian 2013); sementara ketinggian Gunung Merapi, 2.910 meter.
Tetapi, kisah gunung yang menurut mitologi adalah gunungnya Hercules, tak kalah menariknya. Pada tahun 79 M, setelah berabad-abad tidur, Visuvius erupsi dan mengubur kota Pompeii.
Setelah itu, masih 40 kali erupsi dan terakhir 1944. Erupsi 16 Desember 1631, menewaskan 3.000 orang, lava mengalir sampai laut, menggelapkan langit selama berhari-hari.
“Suatu ketika harus pergi ke Pompeii, kota yang dulu dikubur letusan Visuvius,” kata Madre Anna.
“Kota itu indah,” lanjutnya.
Saat bertemu para suster dari Pompeii, yang menghadiri acara Natalan IRRIKA di biara itu, mendapat tambahan cerita yang lebih menarik lagi tentang Pompeii. IRRIKA adalah Ikatan Rohaniwan Rohaniwati di Kota Abadi Roma; tapi sejak beberapa tahun lalu, menjadi seluruh Italia.
Kata mereka, lereng Visuvius ditutupi kebun anggur dan tanaman buah-buahan yang lain. Anggur yang ditanam di kawasan itu dikenal dengan sebutan Lacrima Christi (bahasa Latin untuk “air mata Kristus”).
Di bagian atas, gunung ini ditumbuhi pepohonan ek dan kastanye. Di sisi utara sepanjang lereng Gunung Soma masih berupa hutan yang berlanjut hingga ke puncak.
***
Napoli. Ini kali ketiga kami ke Napoli kota yang menurut sejarah Italia moderen menjadi pijakan Benito Mussolini saat menggerakkan revolusinya. Dari kota di Italia Selatan inilah kaum fasis pimpinan Mussolini mulai bergerak ke Utara untuk merebut dan menguasai Roma.
Saat kongres kaum fasis wilayah Italia Selatan di Napoli, 24 Oktober 1922, Mussolini berteriak lantang, “Noi vogliamo diventare Stato.” Kita ingin menjadi sebuah negara. Yang dimaksudkan dengan “kita” adalah kaum fasis. Jadi, cita-cita Mussolini adalah mendirikan negara fasis.
Kongres itu digelar di San Carlo Theatre, Napoli yang oleh Mussolini disebut Ratu Mediterania. Mussolini membakar semangat kaum fasis untuk bergerak seperti orang-orang Romawi yang berkeinginan kuat untuk membangun kembali negara–yang saat itu dipandangnya sudah rusak–dengan kerja keras untuk masa depan yang cerah.
Ia tidak percaya bahwa sejarah akan mengulang dirinya sendiri; bahwa sejarah mengikuti jalur tertentu. Ia juga tidak percaya bahwa setelah Demokrasi harus muncul Demokrasi super. Mussolini berkeyakinan bahwa sejarah baru harus diciptakan.
Dan, anak pandai besi itu menciptakan sejarah baru Italia; meskipun sejarah hitam. Tahun 1925, ia membubarkan pemerintahan demokratik; menyatakan dirinya sebagai diktator Italia bergelar “Il Duce”, Sang Pemimpin.
Kata John Foot dalam Blood and Power, The Rise and Fall of Italian Facism (2023), setelah membakar semangat kaum fasis dan rakyat Napoli yang hadir dalam kongres itu, Mussolini yang berpakaian hitam-hitam itu pergi ke Milan, Italia Utara. Di kota itu, ia mengobarkan semangat perlawanan.
Setelah Mussolini pergi, Michele Bianchi, salah satu tokoh pendiri gerakan fasis, berteriak lantang, “Saudara-saudara, apa yang kita lakukan di Napoli…? Saya ingin tengah hari sudah di Roma.”
Teriakan Michele Bianchi itu laksana perintah; seperti membangunkan massa dari tidur. Maka bergeraklah ribuan orang berpakaian hitam-hitam menuju Roma. Dari Milan, setelah pidato Mussolini, bergerak pula ribuan orang ke Roma.
Dari Napoli, gerakan menuju Roma itu dipimpin empat orang: Michelle Bianchi, Italo Balbo, Cesare De Vecchi, dan Emilio de Bono.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.