Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
I
Setelah dirundingkan berbulan-bulan, akhirnya Paus Fransiskus bertemu Ayatollah Agung Sayyid Ali al-Husaini Sistani, di Najaf, hari Sabtu lalu. Najaf, salah satu kota suci bagi Syiah yang terletak sekitar 160 km selatan Baghdad ibu kota Irak, tempat makam Imam ‘Al ibn Ab T lib, menjadi saksi pertemuan bersejarah dan penuh makna itu.
Pertemuan dua pemimpin agama yang sudah sepuh ini—Paus Fransiskus (84) dan Ayatollah al-Sistani (90)—sangat bersejarah, tonggak sejarah. Baik itu sejarah Irak negeri yang demikian lama dicabik-cabik konflik sektarian maupun sejarah dialog antar-iman global.
Ini kali pertama seorang Paus mengunjungi Irak; dan bertemu pemimpin tertinggi Syiah Irak. Tahun 2019, Paus Fransiskus bertemu Imam Besar Al-Azhar Mesir Ahmed Muhammad Ahmed el-Tayyeb di Abu Dhabi, UAE. Sheikh al-Tayyeb, yang juga Ketua Dewan Para Tetua Muslim (the Muslim Council of Elders).
Dalam pertemuan itu mereka menandatangani The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together, Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama atau sering disebut sebagai “Dokumen Abu Dhabi”. Karena itulah, Dokumen Abu Dhabi ini menjadi peta jalan yang sungguh berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama.
Kedua pertemuan itu semakin memaknai nama Fransiskus yang dipilih oleh Kardinal Jorge Mario Bergoglio setelah terpilih menjadi Paus pada tahun 2013. Apa yang ia lakukan—bertemu Sheik Ahmed el-Tayyeb dan Ayatollah Sayyid Ali al-Sistani—mengikuti jejak Santo Fransiskus Asisi yang di tengah kecamuk Perang Salib 1219, menemui Sultan al-Malik al-Kamil, sepupu Salahuddin yang berkuasa atas Mesir, Suriah, dan Palestina.
Santo Fransiskus Asisi mengabaikan ancaman terhadap jiwanya. Ia melintas batas. Menerobos rintangan. Tujuannya satu: bertemu Sultan al-Malik, musuh Pasukan Salib. Tidak aneh, kalau tindakan biarawan Asisi tersebut disebut sebagai tindakan bodoh, pada waktu itu. Tetapi, ia tidak peduli dengan semua itu. Semua dilakukan demi terciptanya perdamaian antar-umat beragama, antar-umat manusia.
Dan, sama dengan kunjungan St Fransiskus Asisi yang disambut dengan penuh persaudaraan oleh Sultan al-Malik, baik Imam Besar Ahmed el-Tayyeb maupun Ayatollah al-Sistani menyambut Paus Fransiskus dengan penuh persaudaraan dan keihklasan. Bahkan, Ayatollah al-Sistani yang biasanya menyambut tamunya tetap dengan posisi duduk karena usianya, tidak demikian ketika menyambut Paus Fransiskus.
Ia berdiri dan menyambutnya di pintu. Paus melepaskan sepatunya. Dan, duduk mereka pun—yang satu mengenakan sorban dan jubah hitam, sangat kontras dengan jubah putih Paus—berdekatan tanpa menggunakan masker. Paus disuguhi secangkir teh dan sebotol air putih.
Pada satu kesempatan dalam pertemuan itu, Paus dengan hati-hati menggenggam kedua tangan Ayatollah, menurut siaran LBC Lebanon. Ayatollah al-Sistani, yang jarang muncul di depan publik juga di televisi itu lebih banyak berbicara dalam pertemuan itu, kata pejabat itu.
Untuk sampai ke rumah Ayatollah al-Sistani, Paus berjalan beberapa meter menyusuri gang. Begitu memasuki gang itu, beberapa merpati putih dilepaskan di depan Paus, sebagai simbol perdamaian.
Misi damai dan persaudaraan yang dibawa Santo Fransiskus Asisi, pada waktu itu. Paus Fransiskus pun demikian. Ia menyebut dirinya sebagai “peziarah perdamaian” dan memegang teguh slogan “kita adalah saudara.”
Kesemua itu disimbolkan dengan mengunjungi Ur, kampung halaman “Bapak Orang Beriman”, Abraham dan doa bersama dengan para tokoh serta pemimpin berbagai agama. Dengan mengunjungi Ur, Paus seperti dalam pidato dan doanya, mengingatkan bahwa ketiga agama Abrahamik—Yudaisme, Kristen, dan Islam—memiliki akar tradisi yang sama.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.