JAKARTA, KOMPAS.TV – Para jamaah berkumpul di masjid Istiqlal, ribuan pria dengan kopiah dan perempuan dengan mukena duduk mendengarkan Imam besar masjid Istiqlal Nasaruddin Umar naik ke mimbar dan memberikan ceramahnya dengan bahasa yang lembut namun tegas. “Kesalahan fatal kita manusia adalah memperlakukan bumi hanya sebagai obyek,” kata Nasaruddin Umar. “Makin rakus kita atas alam, makin cepat kiamat datang,” ujarnya.
Mantan wakil menteri agama itu, lalu menjelaskan ajaran Islam tentang perintah memelihara lingkungan yang sama dengan perintah menjalankan kewajiban agama seperti berpuasa selama Ramadan atau memberi sedekah. Seperti salat harian, menanam pohon pun harus menjadi kebiasaan.
Lingkungan adalah tema sentral dalam khotbah-khotbah Nasaruddin, Imam besar Masjid Istiqlal yang berpengaruh, di Jakarta, yang berusaha memimpin dengan contoh, seperti dilaporkan oleh New York Times, Rabu, (17/4/2024).
Terkejut oleh sampah yang mencemari sungai di samping masjid Istiqlal, dia memerintahkan untuk pembersihan total.
Selain itu, terkejut dengan tagihan utilitas yang sangat tinggi, Nasaruddin memerintahkan pemasangan panel surya, keran dengan aliran lambat, dan sistem daur ulang air di masjid terbesar di Asia Tenggara itu.
Masjid Istiqlal adalah bukti dari apa yang bisa dicapai gerakan Islam Hijau. Nasaruddin Umar mengatakan pemasangan 500 panel surya telah menurunkan tagihan listrik masjid itu sebesar 25 persen. Dengan keran aliran lambat dan sistem daur ulang air, jamaah menggunakan jauh lebih sedikit air untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat.
Perubahan itu membuat Masjid Istiqlal menjadi tempat ibadah pertama yang memenangkan penghargaan bangunan hijau dari Bank Dunia.
Ini adalah tempat ibadah pertama di dunia yang dianugerahi sertifikat bangunan hijau oleh International Finance Corp Bank Dunia. Imam besar Nasaruddin Umar mengatakan dia ingin membantu mengubah 70 persen dari 800.000 masjid di Indonesia menjadi “eco-masjid”, atau masjid-masjid ekologis.
Imam besar Nasaruddin Umar mengatakan dia hanya mengikuti instruksi Rasulullah Muhammad SAW bahwa umat Islam harus peduli terhadap alam.
Dia tidak sendirian di negara dengan lebih dari 230 juta penduduk, mayoritas dari mereka Muslim, dalam mencoba membangkitkan kesadaran lingkungan melalui ajaran Islam.
Baca Juga: RI Catat Proyek Potensial Rp490,59 T di AIPF, Energi Hijau dan Baterai Listrik Paling Laris
Banyak ulama ulama terkemuka Indonesia telah mengeluarkan fatwa, tentang bagaimana meredam perubahan iklim. Aktivis lingkungan setempat merayu teman, keluarga, dan tetangga bahwa menjaga lingkungan hidup tertanam dalam Al Quran.
“Sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia, kita harus memberikan contoh baik bagi masyarakat Muslim,” kata Nasaruddin dalam sebuah wawancara.
Sementara negara-negara Muslim lainnya juga memiliki gerakan "Islam Hijau" seperti ini. Indonesia bisa menjadi panduan bagi seluruh dunia jika ingin bertransformasi.
New York Times juga melaporkan, sebagai pengekspor batubara terbesar di dunia, Indonesia merupakan salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Ribuan hektar hutan hujannya ditebang untuk menghasilkan minyak kelapa sawit atau mencari mineral.
Kebakaran hutan dan banjir menjadi lebih intens, akibat dari cuaca ekstrem yang didorong oleh suhu yang lebih tinggi. Perubahan yang berlangsung adalah tugas yang berat.
Cadangan nikelnya yang besar, yang digunakan dalam baterai mobil listrik, adalah jalan menuju masa depan yang lebih bersih. Namun, pemrosesan nikel memerlukan pembakaran bahan bakar fosil.
Baca Juga: Lembaga Ini Sebut 97 Persen Anak Muda Pertimbangkan Isu Lingkungan Saat Pilih Calon Pemimpin
Masih banyak anggapan masyarakat bahkan tokoh agama bahwa lingkungan sebagai hal yang terpisah dari agama. Dan survei menunjukkan adanya keyakinan luas di kalangan masyarakat Indonesia bahwa perubahan iklim tidak disebabkan oleh aktivitas manusia.
Hal ini menjadi tantangan untuk mengedukasi Muslim Indonesia, kata para pendukung gerakan Islam Hijau, untuk dapat mendorong perubahan.
“Orang tidak akan mendengarkan hukum, mereka tidak peduli,” kata Hayu Prabowo, kepala perlindungan lingkungan di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Mereka mendengarkan pemimpin agama karena pemimpin agama mereka mengatakan Anda dapat lolos dari hukum duniawi, tetapi Anda tidak bisa lolos dari hukum Tuhan,” tutur Hayu Prabowo.
Fatwa MUI tidak mengikat secara hukum, tetapi katanya, fatwa punya pengaruh yang mencolok. Ia menunjuk pada studi yang menemukan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah dengan hutan yang kaya dan lahan gambut sekarang lebih sadar bahwa adalah sebuah kesalahan untuk membuka hutan-hutan ini karena fatwa yang menyatakan aktivitas tersebut sebagai haram.
Dua puluh tahun yang lalu, Aak Abdullah al-Kudus, seorang aktivis lingkungan di provinsi Jawa Timur mencoba menggabungkan kampanye penanaman pohon dengan perayaan ulang tahun Nabi Muhammad. Namun di awal, dia mendapat hambatan juga bahkan menerima ancaman pembunuhan.
Tetapi dukungan untuk Aak tumbuh seiring waktu, dan dia melanjutkan hingga memulai Green Army, sebuah kelompok relawan penanaman pohon yang bekerja untuk melakukan penghijauan Gunung Lemongan, sebuah gunung kecil di mana 2.000 hektar hutan lindung telah ditebang. Saat ini, gunung itu ditutupi dengan bambu hijau dan pohon buah.
“Tugas kita adalah menjadi khalifah, pelindung, bumi,” kata Aak. “Itu adalah misi Islam.”
Baca Juga: Jokowi Ajak Negara Anggota G20 Berkolaborasi Nyata untuk Bangun Ekonomi Hijau yang Inklusif
Elok Faiqotul Mutia terinspirasi oleh sentimen yang sama. Ketika dia berusia enam tahun dan tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah, ayahnya membawanya ke hutan jati di mana dia melihat pohon-pohon ditebang untuk bisnis furnitur keluarganya. Dia mengatakan dia ingin “menggantikan dosa ayah saya kepada bumi.”
Salah satu pekerjaan pertamanya adalah sebagai peneliti untuk Greenpeace. Dia kemudian mendirikan Enter Nusantara, sebuah organisasi yang bertujuan untuk mendidik pemuda tentang perubahan iklim.
Mutia mengatakan dia percaya Islam bisa menawarkan pesan yang lebih lembut kepada orang Indonesia tentang konservasi lingkungan, menunjuk pada survei yang menemukan bahwa umat Islam Indonesia lebih memperhatikan para pemimpin agama daripada ilmuwan, media, dan presiden.
“Aktivisme lingkungan selalu menggunakan istilah negatif seperti ‘Menghilangkan batubara, tolak pembangkit listrik batubara!’” kata Mutia. “Kami ingin menunjukkan bahwa dalam Islam, kami sudah sangat lama memegang nilai-nilai yang mendukung nilai-nilai lingkungan.”
Bulan Juni lalu, kelompoknya mengumpulkan lebih dari US$5.300 atau sekitar 80 juta rupiah agar sebuah masjid kecil di kota Yogyakarta bisa memasang panel surya. Lebih dari 5.500 orang mendonasikan dana, yang diberikan kepada Masjid Al-Muharram, di mana jamaah sering duduk dalam kegelapan karena pemadaman listrik yang kronis.
Panel surya membantu mengurangi tagihan listrik bulanan masjid tersebut, kata pemimpinnya Ananto Isworo. Jamaah sudah menggunakan air hujan yang dikumpulkan untuk membersihkan diri mereka.
Ananto mengatakan banyak rekan sejawatnya menyebutnya “ustaz gila”, atau “guru Muslim gila”, karena memberikan ceramah tentang lingkungan tidak ada hubungannya dengan agama.
Dia menanggapi dengan mengatakan ada sekitar 700 ayat dalam Quran dan puluhan hadis Rasulullah Muhammad SAW yang berbicara tentang lingkungan. Dia mengutip perintah Nabi Muhammad, “Allah itu baik dan menyukai kebaikan, Allah itu bersih dan menyukai kebersihan.”
Baca Juga: MCCCRH Indonesia Node: Dampak Perubahan Iklim Kian Mengkhawatirkan, Politisi Masih Minim Bicara
“Inilah perintah untuk menjaga lingkungan dengan membersihkannya,” kata Ananto.
Gerakan Islam Hijau juga mendapat dorongan dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, organisasi massa Muslim terbesar Indonesia, yang mendanai sekolah, rumah sakit, dan layanan sosial. Nahdlatul Ulama telah merekrut Aak, aktivis lingkungan, untuk program “ekologi spiritual”nya yang menggunakan ajaran Islam untuk mendorong konservasi lingkungan.
Salah satu upaya melibatkan membantu sekolah Islam meningkatkan manajemen limbah mereka. Para gadis didorong untuk menggunakan pembalut yang dapat digunakan kembali, dan sekolah-sekolah itu memiliki sistem yang memungkinkan siswa mengubah limbah menjadi hal-hal seperti pupuk organik.
Sumber : New York Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.