“Orang tidak akan mendengarkan hukum, mereka tidak peduli,” kata Hayu Prabowo, kepala perlindungan lingkungan di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Mereka mendengarkan pemimpin agama karena pemimpin agama mereka mengatakan Anda dapat lolos dari hukum duniawi, tetapi Anda tidak bisa lolos dari hukum Tuhan,” tutur Hayu Prabowo.
Fatwa MUI tidak mengikat secara hukum, tetapi katanya, fatwa punya pengaruh yang mencolok. Ia menunjuk pada studi yang menemukan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah dengan hutan yang kaya dan lahan gambut sekarang lebih sadar bahwa adalah sebuah kesalahan untuk membuka hutan-hutan ini karena fatwa yang menyatakan aktivitas tersebut sebagai haram.
Dua puluh tahun yang lalu, Aak Abdullah al-Kudus, seorang aktivis lingkungan di provinsi Jawa Timur mencoba menggabungkan kampanye penanaman pohon dengan perayaan ulang tahun Nabi Muhammad. Namun di awal, dia mendapat hambatan juga bahkan menerima ancaman pembunuhan.
Tetapi dukungan untuk Aak tumbuh seiring waktu, dan dia melanjutkan hingga memulai Green Army, sebuah kelompok relawan penanaman pohon yang bekerja untuk melakukan penghijauan Gunung Lemongan, sebuah gunung kecil di mana 2.000 hektar hutan lindung telah ditebang. Saat ini, gunung itu ditutupi dengan bambu hijau dan pohon buah.
“Tugas kita adalah menjadi khalifah, pelindung, bumi,” kata Aak. “Itu adalah misi Islam.”
Baca Juga: Jokowi Ajak Negara Anggota G20 Berkolaborasi Nyata untuk Bangun Ekonomi Hijau yang Inklusif
Elok Faiqotul Mutia terinspirasi oleh sentimen yang sama. Ketika dia berusia enam tahun dan tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah, ayahnya membawanya ke hutan jati di mana dia melihat pohon-pohon ditebang untuk bisnis furnitur keluarganya. Dia mengatakan dia ingin “menggantikan dosa ayah saya kepada bumi.”
Salah satu pekerjaan pertamanya adalah sebagai peneliti untuk Greenpeace. Dia kemudian mendirikan Enter Nusantara, sebuah organisasi yang bertujuan untuk mendidik pemuda tentang perubahan iklim.
Mutia mengatakan dia percaya Islam bisa menawarkan pesan yang lebih lembut kepada orang Indonesia tentang konservasi lingkungan, menunjuk pada survei yang menemukan bahwa umat Islam Indonesia lebih memperhatikan para pemimpin agama daripada ilmuwan, media, dan presiden.
“Aktivisme lingkungan selalu menggunakan istilah negatif seperti ‘Menghilangkan batubara, tolak pembangkit listrik batubara!’” kata Mutia. “Kami ingin menunjukkan bahwa dalam Islam, kami sudah sangat lama memegang nilai-nilai yang mendukung nilai-nilai lingkungan.”
Bulan Juni lalu, kelompoknya mengumpulkan lebih dari US$5.300 atau sekitar 80 juta rupiah agar sebuah masjid kecil di kota Yogyakarta bisa memasang panel surya. Lebih dari 5.500 orang mendonasikan dana, yang diberikan kepada Masjid Al-Muharram, di mana jamaah sering duduk dalam kegelapan karena pemadaman listrik yang kronis.
Panel surya membantu mengurangi tagihan listrik bulanan masjid tersebut, kata pemimpinnya Ananto Isworo. Jamaah sudah menggunakan air hujan yang dikumpulkan untuk membersihkan diri mereka.
Ananto mengatakan banyak rekan sejawatnya menyebutnya “ustaz gila”, atau “guru Muslim gila”, karena memberikan ceramah tentang lingkungan tidak ada hubungannya dengan agama.
Dia menanggapi dengan mengatakan ada sekitar 700 ayat dalam Quran dan puluhan hadis Rasulullah Muhammad SAW yang berbicara tentang lingkungan. Dia mengutip perintah Nabi Muhammad, “Allah itu baik dan menyukai kebaikan, Allah itu bersih dan menyukai kebersihan.”
Baca Juga: MCCCRH Indonesia Node: Dampak Perubahan Iklim Kian Mengkhawatirkan, Politisi Masih Minim Bicara
“Inilah perintah untuk menjaga lingkungan dengan membersihkannya,” kata Ananto.
Gerakan Islam Hijau juga mendapat dorongan dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, organisasi massa Muslim terbesar Indonesia, yang mendanai sekolah, rumah sakit, dan layanan sosial. Nahdlatul Ulama telah merekrut Aak, aktivis lingkungan, untuk program “ekologi spiritual”nya yang menggunakan ajaran Islam untuk mendorong konservasi lingkungan.
Salah satu upaya melibatkan membantu sekolah Islam meningkatkan manajemen limbah mereka. Para gadis didorong untuk menggunakan pembalut yang dapat digunakan kembali, dan sekolah-sekolah itu memiliki sistem yang memungkinkan siswa mengubah limbah menjadi hal-hal seperti pupuk organik.
Sumber : New York Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.