JAKARTA, KOMPAS.TV - Hasil Pemilu Indonesia 2024 dinilai akan memiliki pengaruh besar terhadap persaingan Amerika Serikat (AS) dan China di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia menggelar pemungutan suara Pemilu 2024 pada Rabu (14/2/2024). Pesta demokrasi kali ini yang salah satunya memilih presiden dan wakil presiden, diikuti tiga pasangan kandidat.
Dilansir Associated Press, Selasa (13/2/2024), Indonesia merupakan kunci pertempuran ekonomi dan politik di mana kekuatan-kekuatan global telah lama berselisih mengenai Taiwan, hak asasi manusia, penempatan militer AS, dan tindakan agresif China di Laut China Selatan.
Baca Juga: Pemilu Indonesia Jadi Sorotan Media Asing, Disebut sebagai Salah Satu Pemilu Terbesar di Dunia
Media tersebut menulis Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat kebijakan luar negerinya selama ini berusaha menghindari kritik dari AS dan China, namun juga menolak berpihak kepada salah satu kekuatan tersebut.
Tindakan penyeimbangan yang rumit ini dinilai telah membuka jalan bagi hubungan perdagangan dan investasi yang besar dari China ke Indonesia.
Itu termasuk proyek kereta api berkecepatan tinggi senilai USD7,3 miliar atau setara Rp114 triliun, yang sebagian besar didanai oleh China.
Sementara, kata Associated Press, Jakarta juga meningkatkan hubungan pertahanan dan latihan militer dengan AS.
Kebijakan ini diyakini akan berlanjut jika Prabowo Subianto, yang bersanding dengan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, akan memenangi Pemilu 2024.
“Masalah bagi kekuatan besar, adalah bahwa Jakarta sangat non-blok, dan hampir pasti akan tetap seperti itu terlepas dari siapa yang menang,” kata Derek Grossman, analis pertahanan senior dari lembaga pemikir AS, Rand Corp.
Adapun mantan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa berharap pemimpin baru yang terpilih tak hanya akan mengatakan “Kita tak akan memilih pihak.”
Ia juga ingin agar pemimpin Indonesia yang baru akan membantu menciptakan hubungan AS-China menjadi lebih stabil.
AS dan China sendiri telah melihat bagaimana pemimpin baru di Asia Tenggara bisa mengancam kepentingan mereka.
Salah satunya adalah eks Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang vokal mengkritik kebijakan keamanan AS di Asia.
Duterte di saat yang sama, dekat dengan pemimpin China, Xi Jinping, dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Dia kemudian digantikan Ferdinand Marcos Jr, yang cenderung pro-AS.
Marcos Jr ingin meningkatkan kerja sama militer dengan AS, untuk menghalau agresi China yang semakin besar di Laut China Selatan.
China pun memprotes keputusan sosok yang biasa dipanggil Bongbong tersebut.
Saat ini, Indonesia dan kebanyakan negara anggota ASEAN ikut dalam gerakan non-blok, yang tak mendukung secara resmi kekuatan global.
Namun, persaingan antara China dan AS telah merambah kawasan ini.
Kritik terhadap tindakan China di Laut China Selatan, selalu diremehkan di ASEAN.
Negara-negara anggota yang bersekutu dengan China, khususnya Kamboja dan Laos, telah menentang segala celaan atau upaya untuk mengkritik Beijing.
Baca Juga: PBB Ungkap 162 Gedung Sekolah di Gaza Hancur oleh Serangan Langsung Israel
Hanya Filipina, yang hingga saat ini masih menentang keras upaya China mengeklaim kepemilikan Laut China Selatan.
Di bawah kepemimpinan Indonesia, ASEAN tak pernah secara spesifik menyebut China dalam persoalan perairan yang disengketakan tersebut.
Tetapi hanya menggambarkan kekhawatiran secara umum atas agresivitas di perairan tersebut dalam pertemuan tahunan mereka.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.