JAKARTA, KOMPAS.TV - Perang Israel vs Hamas yang meletus sejak Sabtu (7/10/2023) lalu berpotensi menimbulkan dampak ekonomi yang bisa dirasakan hingga ke Indonesia. Perang ini dinilai dapat memperburuk kondisi ekonomi global yang masih terdampak perang Rusia-Ukraina.
Perang Israel vs Hamas sendiri telah menewaskan sekitar 2.100 orang di masing-masing pihak per Rabu (11/10). Perang ini juga dikhawatirkan dapat memicu krisis lebih luas.
Berbagai pihak pun telah menyerukan agar pihak-pihak yang berkonflik untuk menahan diri. Namun, pemerintah Israel mengaku telah mempersiapkan serangan darat ke Jalur Gaza sehingga dikhawatirkan meningkatkan eskalasi konflik.
Baca Juga: Israel Persiapkan Invasi Darat ke Jalur Gaza, Terjunkan 300 Ribu Tentara untuk Serang Hamas
Berikut potensi dampak ekonomi yang bisa dirasakan Indonesia sehubungan perang Israel vs Hamas.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut perang Israel vs Hamas berpotensi menimbulkan sejumlah dampak ekonomi, mulai dari pergeseran investor hingga kenaikan harga minyak.
Bhima menyebut konflik di Palestina saat ini berpeluang besar menaikkan harga minyak mentah hingga 90-92 dolar AS per barel. Namun, kenaikan harga minyak diprediksi tidak separah krisis minyak mentah 1973.
Pada 1973 silam, kenaikan harga minyak mencapai 450 persen, dari 2 dolar AS per barel menjadi 11 dolar AS per barel.
"Faktor politik dan keamanan memang punya andil, tapi pasar minyak akhir-akhir ini cenderung mengalami anomali pasokan dan permintaan sekaligus," kata Bhima dikutip Kompas.com.
Beberapa faktor yang menurutnya berpotensi menahan kenaikan harga minyak adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak Rusia. Pemangkasan produksi minyak yang baru akan dibahas Arab Saudi dan Rusia pada November mendatang pun membuat harga minyak diprediksi tidak naik signifikan.
Perang Israel vs Hamas pun diperkirakan dapat memicu penguatan nilai tukar dolar AS dalam jangka pendek. Hal tersebut dapat memengaruhi biaya impor beras dan bahan bakar minyak.
"Dollar indeks, misalnya, menguat ke level 106. Rupiah bersiap mengalami depresiasi terhadap dollar AS," kata Bhima.
"Tentu pilihan pemerintah apakah alokasi subsidi energinya naik atau diteruskan ke masyarakat membayar BBM lebih tinggi," lanjutnya.
Bhima menuturkan, situasi tersebut membuat inflasi menjadi ancaman serius bagi daya beli domestik.
Sementara itu, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin menyampaikan bahwa perang Israel vs Hamas berpotensi menghambat pemulihan global. Hal tersebut membuat risiko resesi semakin besar.
Eddy pun menyebut pemerintah Indonesia perlu berhati-hati. Pemerintah disebutnya perlu mengurangi defisit fiskal hingga maksimal tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan mengusahakan agar utang tidak bertambah.
"Cadangan devisa perlu dijaga dan dinaikkan, inflasi perlu dikendalikan dengan ketat, suku bunga perlu dijaga stabil dan kalau bisa diturunkan perlahan," kata Eddy.
"Jadi, misalnya pertumbuhan ekonomi terhambat, paling tidak indikator-indikator fundamental ekonomi lain tetap sehat dan bisa menopang di masa tidak menentu," lanjutnya.
Eddy juga menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya melakukan upaya antisipatif untuk menjaga stabilitas kurs rupiah. Hal ini dapat dilakukan dengan pemanfaatan devisa hasil ekspor, mengendalikan repatriasi dividen ke luar negeri, mengendalikan konsumsi BBM, serta mencegah impor pangan berlebihan. "
"Produksi pangan dalam negeri bisa terus didorong, sehingga beban impor yang berdampak ke fluktuasi rupiah bisa diredam," kata Eddy.
Baca Juga: Pembangkit Listrik Gaza Terancam Berhenti Beroperasi karena Blokade, Palestina: Pembunuhan Massal
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.