JAKARTA, KOMPAS.TV - Amerika Serikat pada 8 November nanti segera menggelar pemilihan umum sela atau midterm election yang rutin dilakukan setiap paruh pertama masa jabatan presiden. Hanya 33 atau 34 dari total 100 kursi Senat yang diperebutkan dalam pemilu sela, tapi semua dari 435 kursi DPR pasti dipertaruhkan mengingat anggota DPR di AS dipilih setiap dua tahun sekali.
Seperti laporan Antara, Sabtu (5/11/2022), pemilu ini utamanya adalah memilih anggota legislatif yang dikenal dengan Kongres, di mana Kongres terbagi ke dalam dua kamar, yakni majelis tinggi atau Senat dan majelis tengah atau House of Representatives yang setingkat DPR.
Pemilu sela juga diadakan untuk memilih 34 dari total 50 gubernur negara bagian, ditambah gubernur Vermont dan New Hampshire yang dipilih setiap dua tahun. Jadi, total 36 gubernur dipilih dalam pemilu tersebut.
Sebagaimana presiden negara itu, anggota Senat dan gubernur memiliki masa jabatan empat tahun, kecuali gubernur Vermont dan New Hampshire. Pemilu sela juga diadakan untuk memilih sejumlah wali kota dan kepala pemerintahan daerah lainnya.
Pemilihan anggota Kongres atau Majelis Rendah adalah yang paling menyita perhatian karena erat kaitannya dengan kerja pemerintahan dan bahkan nasib presiden. Pasalnya, pemilu sela biasanya mengubah komposisi mayoritas-minoritas dalam dewan legislatif.
Pemilu sela biasanya dimenangkan oleh partai yang sedang beroposisi. Saat ini yang tengah berkuasa adalah Partai Demokrat yang selain mengisi jabatan presiden yang dikuasai Joe Biden, juga mendominasi dua majelis di Kongres.
Baca Juga: China Kecam Rencana Amerika Serikat Tempatkan Pesawat Pengebom Nuklir B-52 di Australia
Dalam dua tahun pertama masa jabatannya, Presiden Joe Biden relatif mulus mengeksekusi sejumlah kebijakannya karena tak begitu mendapatkan ganjalan baik dari Senat maupun DPR setelah keduanya didominasi Demokrat, kendati dalam selisih kursi yang sangat tipis.
Situasi seperti itu bakal berubah jika Republik memenangkan pemilu sela sehingga menjadi mayoritas dalam parlemen.
Jika terjadi begitu, maka kerja pemerintahan Joe Biden bakal terganggu dan bahkan bisa memengaruhi nasib sang presiden serta Demokrat pada Pemilu 2024.
Pergeseran komposisi parlemen akan membuat program-program Joe Biden mengalami rintangan lebih sulit dibandingkan dengan dua tahun terakhir, dan ini termasuk kebijakan ekonominya.
Padahal apa yang terjadi dalam perekonomian AS memengaruhi perekonomian global, terlebih dalam masa sulit pascapandemi yang tengah diancam resesi global.
Sementara dari kaca mata politik, rekonfigurasi legislatif AS bakal memanaskan politik dunia mengingat kemenangan Republik dalam pemilu sela bisa menjadi pintu masuk untuk naiknya Donald Trump yang membawa AS semakin ekstrem ke kanan.
Baca Juga: “Ngapak” di Amerika Serikat , "Diplomasi Kopi" jadi Cara Cairkan Ketegangan G20
Selama berkuasa, Trump mengubah demokrasi AS menjadi tak lagi terlihat inklusif, bahkan tidak toleran kepada minoritas.
Mantan presiden itu juga pernah membuat tatanan global mengalami kemunduran karena garis politik "America First"-nya telah mencampakkan multilateralisme, termasuk G7 dan G20.
Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah asosiasi Trump dengan ujaran kebencian yang membuat gerah tidak saja rakyat AS, tetapi juga dunia.
Sayangnya, Trump masih menjadi menjadi kekuatan utama di balik kemungkinan besar naiknya calon-calon anggota legislatif Partai Republik pada pemilu sela 2022.
Republik hanya membutuhkan selisih lima kursi lebih banyak dari Demokrat untuk menjadi mayoritas di DPR.
Sementara untuk Senat, Republik hanya perlu selisih satu kursi untuk menjadi mayoritas yang saat ini berkomposisi 50 banding 50, tapi dikategorikan dikuasai Demokrat karena Wakil Presiden AS (saat ini Kamala Harris) menjadi penentu suara ketika pemungutan suara seimbang. Wapres AS adalah juga sebagai ketua Senat.
Baik Republik maupun Demokrat dipastikan menang di negara-negara bagian yang menjadi basis mereka. Biasa disebut "red states" untuk sejumlah negara bagian yang menjadi kantong suara Republik, dan "blue states" untuk beberapa negara bagian yang menjadi kantong suara Demokrat.
Baca Juga: Wah, Amerika Serikat Ungkap Kesediaan Berdialog dengan Korea Utara tanpa Prasyarat!
Pertarungan sebenarnya terjadi di wilayah-wilayah yang penduduknya tak berkecenderungan baik kepada Republik maupun Demokrat. Daerah-daerah ini biasa disebut "swing states" atau negara bagian dengan pemilih suara mengambang.
Dalam pemilu sela, terdapat 53 distrik untuk 53 kursi DPR, yang diperkirakan menjadi medan suara paling sengit.
Fakta dalam berbagai pemilu sela sebelumnya selalu dimenangkan partai oposisi, dan faktor Donald Trump, membuat Demokrat cemas.
Apalagi dalam berbagai jajak pendapat, tingkat persetujuan rakyat kepada Demokrat dan Biden terbilang rendah.
Jajak pendapat Reuters/Ipsos yang diselenggarakan mulai 31 Oktober sampai 1 November misalnya, menunjukkan tingkat kepuasan kepada Biden hanya 40 persen. Selain itu, 69 persen rakyat AS beranggapan negaranya telah salah jalan, terutama dalam pengelolaan ekonomi yang semakin sulit karena inflasi yang menaikkan harga-harga termasuk BBM, properti, dan layanan kesehatan yang penting sekali di AS.
Isu itu pula yang digoreng Trump dan calon-calon anggota legislatif dari Republik.
Mereka semakin mendapatkan momentum mengingat dalam berbagai jajak pendapat, faktor ekonomi menjadi perhatian utama pemilih.
Walaupun pemerintahan Biden sukses menekan pengangguran, namun situasi ekonomi masih muram akibat belitan inflasi yang melambungkan harga properti, pangan dan energi.
Inflasi tetap menjadi momok, karena kendati harga BBM dan bahan pokok turun, bank sentral AS tetap mempertahankan suku bunga tinggi guna menekan inflasi yang bisa merusak pertumbuhan ekonomi negara ini.
Baca Juga: Dokumen Strategi Keamanan Amerika Serikat Terungkap, Ini Ancaman Jangka Pendek dan Panjang AS
Kesimpulannya, ekonomi adalah medan tempur yang dihindari Demokrat dalam pemilu sela kali ini.
Sebaliknya mereka mengalihkan perhatian kepada isu-isu nonekonomi, termasuk keputusan Mahkamah Agung melarang aborsi yang dipakai Demokrat untuk menunjukkan kepada rakyat AS bahwa Republik tidak melindungi hak-hak perempuan.
Larangan aborsi pun mulus dikeluarkan MA karena hakim-hakim agung dalam badan peradilan tertinggi di AS tersebut saat ini didominasi hakim-hakim konservatif pilihan Republik.
Perbandingannya adalah 6 hakim agung konservatif dan tiga hakim agung liberal. Hakim agung liberal biasanya menjadi pilihan Demokrat.
Perubahan komposisi hakim MA menjadi 6:3 itu terjadi karena ulah Trump yang mengabaikan konsensus tak tertulis di antara Republik dan Demokrat bahwa komposisi agung harus 5:4, entah liberal atau konservatif.
Yang menarik dari pemilu kali ini, tema kampanye menjadi kentara diasosiasikan dengan pribadi seseorang, yakni Donald Trump.
Salah satu isu lain yang berkaitan dengan Trump dan dimanfaatkan Demokrat adalah perkara hukum yang menjerat mantan presiden itu akibat menyimpan dokumen-dokumen negara di rumah pribadi, bukan di lembaga negara.
Tetapi Demokrat tak akan membidik pemilih Republik yang sudah menentukan pilihannya. Demokrat membidik suara-suara mengambang yang belum menentukan pilihan yang biasa disebut "swing voter" atau "suara mengambang".
Baca Juga: Inilah Sistem Senjata Amerika Serikat yang Akan atau Tidak Akan Diperoleh Ukraina
Kenyataannya, dalam semua pemilu, termasuk pemilu sela, "swing voter" menjadi incaran utama karena menjadi penentu kemenangan dalam pemilu.
Yang menjadi persoalan, khususnya bagi Demokrat, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu sela biasanya lebih rendah dibandingkan dengan pemilu setiap empat tahun sekali yang di antaranya untuk memilih presiden AS.
"Swing voter", termasuk pemilih muda, biasanya tak begitu tertarik kepada pemilu sela.
Biden dan Demokrat menyadari hal ini. Untuk itulah mereka mengusung program-program untuk menarik suara pemilih muda, antara lain relaksasi pinjaman studi.
Kendati sejarah tidak berpihak kepada Demokrat, fakta di lapangan setelah pemilu sela bisa saja lain.
Yang tak kalah menarik, mengingat posisi AS yang masih menentukan dalam peta politik dan ekonomi dunia, pemilu sela bisa bergaung global, khususnya ekonomi dunia yang sedang dalam cengkeraman resesi.
Perubahan fakta ekonomi AS akibat pergeseran kebijakan ekonominya karena pertarungan antara eksekutif dan legislatif yang berubah sengit, bakal menciptakan situasi ekonomi baru yang memengaruhi bank sentral Federal Reserve dalam mengambil kebijakan moneter dan membuat kebijakan perdagangan AS bisa saja berubah.
Padahal kebijakan Federal Reserve acap menulari otoritas moneter di seluruh dunia, dan ini bisa memengaruhi upaya dunia dalam menghindarkan resesi global.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.