UTHAI SAPAN, KOMPAS.TV — Nama panggilan balita cantik itu Plai Fon. Dalam bahasa Thailand, itu berarti "akhir musim hujan", waktu yang membahagiakan dalam budaya Thailand. Ini adalah penuturan menyayat hati orang tua korban pembantaian di Thailand hari Kamis lalu, seperti laporan Associated Press, Sabtu (8/10/2022).
Dalam satu peristiwa keji di hari nahas yang mengerikan itu, kebahagiaan yang dilambangkan dari nama anak berusia 4 tahun berpipi tembam untuk keluarganya itu hancur berkeping-keping.
Sebagai gantinya adalah penderitaan yang tak terperi atas apa yang terjadi pada Plai Fon dalam pembantaian di pusat penitipan anak Thailand, menyebabkan 36 orang, ditambah si pembunuh menjadi 37 orang, tewas.
Dari jumlah itu, 22 korban tewas adalah balita yang sedang tidur siang di pusat penitipan anak.
"Ketika dia bangun, dia akan berkata, 'Aku mencintaimu ibu, ayah dan kakak laki-lakiku'," tutur lirih Tukta Wongsila, sang ibu yang berusia 28 tahun, mengenang rutinitas pagi putrinya yang kini tiada.
Kesedihan Tukta atas kenangan itu segera membuatnya tercekat dan memandang dengan tatapan kosong.
Sedikitnya 24 dari korban serangan senjata dan pisau hari Kamis (6/10/2022), di timur laut Thailand adalah balita. Dari 24 korban balita, 22 di antaranya tewas penuh luka bacokan.
Baca Juga: Momen Raja Thailand dan Ratu Ketemu Keluarga Korban Penembakan di Daycare
Pelakunya adalah Panya Khamrab, pecatan polisi yang baru selesai sidang kriminal karena terlibat narkotika.
Suatu hari setelah hidup yang singkat para balita itu dipadamkan dengan paksa, keluarga mereka yang putus asa menghabiskan berjam-jam di luar kantor administrasi dekat pusat penitipan anak, menunggu jasad anak-anak mereka dilepaskan.
Pihak berwenang mengatakan kepada keluarga untuk berkumpul di kantor sehingga mereka dapat memproses klaim kompensasi dan bertemu dengan perdana menteri. Tapi Tukta tidak peduli dengan formalitas. Dia hanya menginginkan gadis kecilnya kembali.
"Saya ingin mendapatkan putri saya kembali untuk mengadakan upacara (pemakaman) secepat saya bisa," ratapnya, air mata mengalir dari mata merahnya. "Semua uang asuransi ini, saya tidak menginginkannya. Saya hanya ingin dia kembali untuk dimakamkan."
Tukta dan keluarganya tinggal di Uthai Sawan, sebuah kawasan pedesaan di salah satu daerah termiskin di negara itu, tidak jauh dari perbatasan Laos. Seperti banyak penduduk, mereka lama berjuang hidup hampir selalu tidak cukup bahkan untuk membayar tagihan.
Tukta dan suaminya bekerja di sawah keluarga selama musim tanam, menghasilkan sekitar USD2.600 setahun atau sekitar Rp40 juta per tahun, itupun jika mereka beruntung.
Mereka mengambil pekerjaan sambilan di hari libur untuk meningkatkan pendapatan mereka. Pasangan dan anak-anak mereka berbagi rumah dengan ibu mertua Tukta dan ayah mertua yang saat ini terbaring sakit di tempat tidur.
Baca Juga: Balita Selamat dari Pembantaian 24 Anak di Thailand, Berkat Selimut yang Menutupi Kepalanya
Pindah ke kota yang lebih besar untuk pekerjaan yang lebih baik tidak mungkin bagi keluarga Tukta, karena mereka perlu membesarkan anak-anak mereka yang masih kecil dan merawat orang tua yang sudah lanjut usia.
Plai Fon, yang nama resminya adalah Siriprapa Prasertsuk, adalah anak sulung Tukta, yang tiga tahun lebih tua dari adik bayinya.
Plai Fon balita yang mungil, dengan rambut hitam dan pipi montok yang tersenyum cerah. Itu adalah senyuman yang dirindukan neneknya, Bandal Pornsora, 62 tahun.
"Dia gadis yang baik," kata Bandal. "Gadis yang baik."
Pada hari Kamis nahas itu, Plai Fon pergi ke Pusat Penitipan Anak, yang dindingnya dihiasi dengan bunga dan kupu-kupu yang cerah dan ceria.
Petang penuh petaka itu dimulai ketika seorang pecatan polisi menyerbu masuk dan mulai menembak serta menikam dan membacok anak-anak, yang saat itu tengah meringkuk tidur siang di atas tikar dan terbungkus selimut.
Hari Jumat, ketika Tukta menunggu jasad putrinya diserahkan kepada keluarga, dia mendapati dirinya merenungkan kengerian yang pasti dialami Plai Fon di saat-saat terakhirnya.
Baca Juga: Kisah Pilu Pembantaian 22 Balita Thailand yang Tengah Tidur Siang, Seorang Balita Berhasil Selamat
"Saya ingin melihat putri saya, untuk melihat seperti apa fisiknya," katanya. "Saya tidak tahu berapa banyak rasa sakit yang dia (pelaku) berikan kepada anak saya. (Bahkan) jika pun dia tertidur (saat nyawanya dirampas), dia pasti merasakan sakitnya. Saya tidak tahu apa yang merenggut nyawanya. Saya hanya ingin melihat wajahnya."
Dia akhirnya bisa melihat jasad putrinya beberapa jam kemudian, di sebuah kuil Buddha terdekat di mana orang-orang terkasih dari korban tewas berkumpul untuk menerima jenazah.
Keluarga yang muncul dari kuil berbicara tentang melihat luka besar pada anak-anak mereka. Banyak yang berteriak, histeris, beberapa langsung jatuh pingsan.
Tukta berjalan ke kuil bersama suami dan ibu mertuanya. Ketika mereka kembali, suami Tukta langsung jatuh pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit.
Tukta terisak dan meraih lengan ayahnya. Mata Plai Fon, katanya, terbuka lebar. Di halaman belakang kuil, pasangan itu berpelukan, berusaha memberikan kenyamanan yang tak kunjung datang.
Baca Juga: Saksi Pilu Pembantaian 22 Balita di Thailand, Selimut Bergambar Kartun dan Kaos Klub Bola Inggris
Tukta memeluk sangat kuat sebuah bingkai berisi foto Plai Fon menggenggam spidol kuning dan menatap ke kamera dengan mata lebar.
Jari-jari ibu muda itu gelisah di tepi bingkai saat dia bersandar ke ayahnya, keduanya menyeka air mata.
Setiap malam sebelum tidur, tutur Tukta, Plai Fon selalu berkata, "Saya ingin tidur dengan ibu."
Tukta menangis mengingatnya.
"Ini adalah kata-kata yang saya dengar setiap malam," katanya. "Tapi aku merindukan kata-kata itu tadi malam," tuturnya satu hari setelah Plai Fon dirampas nyawanya.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.