DUBAI, KOMPAS.TV — Ekonomi dunia diperkirakan tumbuh sekitar 3,6 persen tahun ini, tetapi eksportir minyak negara-negara Arab melihat rejeki nomplok dari harga energi yang tinggi, yang akan menopang ekonomi mereka dan mengisi kembali cadangan keuangan mereka tahun ini dan tahun berikutnya.
Demikian menurut sebuah laporan dirilis Rabu oleh Dana Moneter Internasional IMF seperti dilansir Associated Press, Kamis (28/4/2022).
Namun, ada pula yang paling terpukul di Timur Tengah, yaitu negara pengimpor minyak dan negara-negara seperti Mesir yang juga sangat bergantung pada impor makanan dari wilayah Laut Hitam, di mana serangan Rusia ke Ukraina berdampak pada ekspor seperti minyak bunga matahari, barley dan gandum di seluruh dunia.
Perang menyebabkan harga gandum melonjak karena petani di Ukraina terpaksa mengangkat senjata, berhenti bertani atau tidak dapat mengekspor biji-bijian mereka karena pelabuhan dan jalan yang diblokir.
Harga energi yang lebih tinggi membawa keberuntungan bagi produsen minyak di kawasan Arab, seperti Arab Saudi di mana pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 7,6 persen tahun ini.
Kuwait, negara lain yang sangat bergantung pada pendapatan minyak, diperkirakan akan mengalami pertumbuhan 8 persen tahun 2022, pembalikan penting dari pertumbuhan ekonomi yang hanya 1 persen tahun lalu dan kontraksi hampir 9 persen yang tahun 2020.
Angka IMF memperkirakan Irak akan melihat ekspansi terbesar ekonominya di kawasan itu, dengan pertumbuhan 9,5 persen diproyeksikan tahun ini.
Secara keseluruhan, IMF memperkirakan dalam lima tahun ke depan, tingkat arus masuk tambahan dan cadangan keuangan ke negara-negara pengekspor minyak Timur Tengah akan melebihi 1 triliun dollar, kata Jihad Azour, direktur departemen Timur Tengah dan Asia Tengah di IMF, kepada Associated Press.
Baca Juga: Harga Minyak Bumi Naik ke Level Tertinggi Selama 7 tahun Terakhir, Dipicu Instabilitas Geopolitik
Proyeksi IMF didasarkan pada sejumlah asumsi, termasuk harga minyak akan rata-rata sekitar 107 dollar AS per barel tahun 2022 dan diperdagangkan sekitar 92 dollar AS per barel pada 2023.
Negara-negara pengekspor minyak Teluk Arab diproyeksikan memproduksi sekitar 18 juta barel minyak per hari tahun ini, dengan sekitar 14 juta barel untuk ekspor. Sebagian besar jumlah tersebut akan diproduksi dan diekspor oleh Arab Saudi.
Rystad Energy, sebuah perusahaan riset dan intelijen bisnis, mengatakan Arab Saudi akan menjadi penerima manfaat terbesar dari harga minyak yang lebih tinggi dan diperkirakan akan menerima lebih dari 400 dollar AS miliar dari ekspor minyak dan gasnya, meningkat hampir 250 dollar AS miliar dari tahun 2021.
Selain itu, Irak juga akan mendapat rezeki nomplok sejumlah 200 dollar AS miliar, dua kali lipat dari pendapatannya dibandingkan dengan tahun 2021.
Aliran masuk keuangan tambahan adalah sangat penting bagi negara-negara Teluk Arab, terutama saat mereka mencoba untuk mendiversifikasi ekonomi mereka dari ketergantungan pada minyak untuk pengeluaran negara dan ketika dunia mencari teknologi yang lebih hijau untuk industri listrik.
Arus masuk juga penting untuk memberikan bantuan kepada publik di negara-negara di mana kekuasaan absolut terkonsentrasi di tangan penguasa turun-temurun.
Raja Arab Saudi Salman mengumumkan minggu ini paket pembayaran jaminan sosial lebih dari setengah miliar dolar kepada warga Saudi yang membutuhkan untuk bulan suci Ramadhan, yang berakhir minggu ini. Setiap kepala keluarga akan menerima 267 dollar AS dan tambahan 133 dollar AS untuk setiap tanggungan mereka.
Baca Juga: Dihajar Sanksi Amerika Serikat dan Barat, Ekspor Minyak Bumi Rusia ke Asia Naik Tajam
Kerajaan Arab Saudi menjalankan program "Rekening Warga" terpisah dengan sekitar 10 juta penerima manfaat - hampir setengah dari populasi Saudi.
Program ini bertujuan untuk meringankan beban keuangan warga dan memberikan dukungan kepada keluarga dengan pendapatan terbatas.
Dukungan rata-rata per keluarga mencapai 285 dollar AS pada bulan April. Sejak dimulai pada awal 2017, program ini telah mengucurkan 31 dollar AS miliar.
Sebaliknya, negara-negara seperti Suriah dan Lebanon berada dalam kesulitan ekonomi yang parah sehingga IMF tidak memiliki proyeksi ekonomi untuk keduanya.
Suriah disapu perang saudara selama lebih dari satu dekade. Lebanon terperosok dalam kemacetan politik dengan angka ekonomi terakhir yang dicatat oleh IMF pada tahun 2020 menunjukkan kontraksi ekonomi sebesar 22 persen tahun itu.
Situasi ini juga sangat mengerikan untuk Sudan, di mana inflasi harga konsumen diperkirakan mencapai 245 persen tahun ini. Tahun lalu, angkanya mencapai 359 persen, meroket sejak revolusi 2019 di negara itu.
Mesir, negara terpadat di kawasan itu, menghadapi banyak tantangan meskipun IMF memperkirakan ekonominya akan tumbuh hampir 6 persen tahun ini, sebelum turun menjadi sekitar 5 persen pertumbuhan pada tahun 2023.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melonjak, PBB Minta Blokade Ladang Minyak di Libya Dibuka
“Mesir adalah salah satu negara yang terkena dampak langsung perang di Ukraina,” kata Azour.
Harga gandum yang lebih tinggi diperkirakan akan meningkatkan tagihan impor negara-negara Timur Tengah sekitar 9 miliar dollar AS, dan antara 1 miliar dollar AS dan 2 miliar dollar AS untuk Mesir.
Dengan inflasi yang diperkirakan mencapai 10,4 persen tahun ini di Mesir, pemerintah melonggarkan nilai tukar dan mata uang terdepresiasi sebesar 15 persen dalam beberapa pekan terakhir. Kebijakan itu juga membatasi harga roti nonsubsidi agar biaya tidak melonjak.
Mesir telah menghubungi IMF untuk menjajaki pendanaan tambahan. Awal bulan ini Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar menjanjikan sekitar 22 miliar dollar AS ke Mesir untuk mendukung Mesir yang sedang kepayahan menopang ekonomi.
Sekitar 5 miliar dollar AS di antaranya adalah simpanan Saudi di bank sentral Mesir. Sisanya datang dalam bentuk kesepakatan investasi dari UEA dan Qatar.
Prospek regional oleh IMF muncul setelah pemberi pinjaman merilis perkiraan global awal bulan ini.
Ini menurunkan prospek ekonomi dunia tahun ini menjadi 3,6 persen dari proyeksi 4,4 persen untuk tahun 2022 pada Januari, menyalahkan perang Rusia di Ukraina karena mengganggu perdagangan global, mendorong harga minyak, mengancam pasokan makanan, dan meningkatkan ketidakpastian di tengah virus corona.
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.