Kekecewaan itu tercermin dalam angka partisipasi pemilih, di mana lembaga jajak pendapat utama Prancis mengatakan tingkat abstain kemungkinan akan di sekitar 28 persen, tertinggi sejak 1969.
Hasil resmi awal diharapkan nanti Minggu malam.
Baca Juga: Kursi Presiden Prancis Sengit Diperebutkan, Ternyata Ini Kerja dan Wewenangnya
Jika proyeksi itu benar, Macron akan menjadi presiden ketiga sejak berdirinya Prancis modern tahun 1958 yang menang dua kali di kotak suara, dan yang pertama dalam 20 tahun, sejak petahana Jacques Chirac mengalahkan ayah Le Pen pada 2002.
Skor Le Pen kali ini mengganjar upayanya selama setahun terakhir untuk membuat politik sayap kanannya lebih cocok bagi para pemilih.
Berkampanye ketat tentang masalah biaya hidup, Le Pen membuat terobosan di antara pemilih kerah biru, di komunitas pedesaan, dan bekas pusat industri.
Menerobos ambang 40 persen atau lebih pencapaian suara dalam pemilu belum pernah terjadi sebelumnya untuk kubu sayap kanan Prancis. Le Pen hanya mendapat 34 persen suara, sementara Macron meraih 66 persen suara pada pilpres 2017. Dan ayahnya bahkan meraih kurang dari 20 persen suara saat melawan Chirac.
Penurunan suara yang didapat Macron dibandingkan dengan lima tahun lalu menunjukkan pertempuran sulit bagi presiden untuk menggalang dukungan di belakangnya pada masa jabatan keduanya.
Banyak pemilih Prancis menganggap pertandingan ulang 2022 kurang menarik daripada tahun 2017, ketika Macron adalah faktor yang tidak diketahui, karena sebelumnya tidak pernah memegang jabatan terpilih.
Baca Juga: Serba-serbi Pilpres Prancis Hari Ini: Gunakan Kertas Suara, Hadir Langsung, dan Dihitung Manual
Pemilih sayap kiri, yang tidak dapat mengasosiasikan pandangan politik dengan presiden dari kubu tengah atau platform nasionalis Le Pen, tersiksa dengan pilihan hari Minggu.
Pemilih dari kubu sayap kiri terlihat enggan, dan datang memilih hanya untuk menghentikan Le Pen, memberikan suara yang tidak menyenangkan untuk Macron.
“Itu adalah pilihan yang paling tidak buruk,” kata Stephanie David, seorang pekerja logistik transportasi yang mendukung seorang kandidat komunis di pilpres putaran pertama.
Namun bagi pensiunan Jean-Pierre Roux, kedua kandidat adalah pilihan yang mustahil. Setelah juga memilih kandidat komunis di babak pertama, ia menjatuhkan amplop kosong, atau abstain, ke kotak suara pada hari Minggu, menolak politik Le Pen dan menolak apa yang dilihatnya sebagai arogansi Macron.
“Saya tidak menentang ide-idenya, tetapi saya tidak tahan dengan orang itu,” kata Roux.
Macron masuk ke pemungutan suara dengan keunggulan yang cukup besar dalam jajak pendapat tetapi tidak dapat memastikan kemenangan dari segmen pemilih yang retak, cemas dan lelah.
Marian Arbre, mencoblos di Paris, memberikan suaranya kepada Macron untuk menghindari pemerintah yang fasis, rasis, seraya menambahkan, "Ada risiko nyata," resah pria berusia 29 tahun itu.
Sumber : Associated Press/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.