MOSKOW, KOMPAS.TV - Kebijakan reformasi pemerintah Kazakhstan di bidang harga BBM minggu ini menjadi bumerang, memicu unjuk rasa masyarakat terbesar yang berdarah dalam beberapa tahun terakhir, seperti dilansir New York Times, Kamis (6/1/2022).
Seperti apa situasinya? Berikut penjelasannya.
Belasan ribu pengunjuk rasa yang marah turun ke jalan-jalan di Kazakhstan beberapa hari terakhir, menjadi krisis terbesar yang mengguncang negara itu dalam beberapa dekade terakhir.
Peristiwa tersebut merupakan tantangan besar bagi Presiden Kassym-Jomart Tokayev, hanya kurang dari tiga tahun masa pemerintahannya. Peristiwa itu mengacaukan kawasan yang sudah bergejolak, tempat Rusia dan Amerika Serikat bersaing untuk mendapatkan pengaruh.
Video yang diunggah pada Rabu (5/1/2022) menunjukkan, pengunjuk rasa menyerbu gedung utama pemerintah di Almaty, kota terbesar Kazakhstan. Pengunjuk rasa juga membakar kendaraan polisi, serta kantor cabang regional partai Nur Otan yang memerintah.
Unjuk rasa yang meluas itu dipicu oleh kemarahan atas melonjaknya harga BBM. Tetapi unjuk rasa itu meningkat menjadi sesuatu yang lebih signifikan dan mudah terbakar, yaitu ketidakpuasan yang meluas atas pemerintah. Pun, sebagai kritik tajam terhadap korupsi endemik yang mengakibatkan kekayaan terkonsentrasi di dalam elite politik dan ekonomi yang kecil.
Baca Juga: AS Bantah Jadi Dalang Kerusuhan di Kazakhstan, Sebut sebagai Klaim Gila Rusia
Unjuk rasa dipicu oleh reformasi pasar sektor BBM yang pertama kali digagas pada tahun 2015 dan mulai berlaku pada awal bulan ini. Kebijakan itu melepas batas atas harga yang ditetapkan negara untuk butana dan propana, sering disebut sebagai 'bahan bakar jalan untuk orang miskin' karena harganya yang rendah – sambil memastikan pasar lokal dipasok dengan baik.
Kebijakan subsidi BBM sebelumnya telah menciptakan situasi ketika Kazakhstan, produsen minyak utama, secara teratur menghadapi kekurangan butana dan propana. Sementara produsen yang beroperasi di Kazakhstan, termasuk usaha perusahaan Amerika Serikat, Chevron dan Exxon, lebih suka mengekspor untuk mendapatkan harga yang lebih baik.
Ketika harga sepenuhnya diliberalisasi pada 1 Januari kemarin, ekspektasi pemerintah adalah pasokan ke pasar domestik akan meningkat dan membantu mengatasi kekurangan kronis. Tetapi upaya itu malah menjadi bumerang, karena harga melonjak hampir dua kali lipat dalam semalam menjadi 120 tenge per liter.
Daerah seperti Mangistau yang kaya minyak, tempat unjuk rasa dimulai, mengandalkan butana dan propana untuk mengisi bahan bakar 90 persen kendaraan. Bahan bakar motor alternatif seperti bensin dan solar lebih mahal, seharga 180 - 240 tenge per liter.
Kemarahan rakyat memuncak karena kenaikan inflasi yang mendekati 9 persen dibanding tahun lalu, tertinggi dalam lebih dari lima tahun terakhir, membuat bank sentral menaikkan suku bunga menjadi 9,75 persen.
Negara yang kaya sumber daya berpenduduk 19 juta ini diperkirakan memiliki satu juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara, beberapa crazy rich Kazakhstan dengan harta miliaran dolar berada dalam daftar orang kaya dunia terbitan Forbes.
Baca Juga: Presiden Kazakhstan Minta Pertolongan Rusia, Sebut Kerusuhan di Negaranya Didalangi Teroris Asing
Ketika unjuk rasa semakin intensif, tuntutan para demonstran makin banyak, dari menuntut harga bahan bakar yang lebih rendah hingga liberalisasi politik yang lebih luas.
Di antara perubahan yang mereka cari adalah pemilihan langsung pemimpin regional Kazakhstan, daripada sistem penunjukan presiden saat ini.
Singkatnya, mereka menuntut penggulingan kekuatan politik yang telah memerintah negara itu tanpa oposisi substansial sejak mencapai kemerdekaan dari Uni Soviet pada tahun 1991.
Terjepit di antara Rusia dan Cina, Kazakhstan adalah negara tanpa perbatasan laut terbesar di dunia, lebih besar dari seluruh Eropa Barat, dengan populasi hanya 19 juta orang.
Demonstrasi terakhir menjadi penting karena negara itu sampai sekarang dianggap sebagai pilar stabilitas politik dan ekonomi di wilayah yang tidak stabil. Stabilitas politik itu harus dibayar dengan pemerintah yang menahan perbedaan pendapat.
Unjuk rasa kali ini juga signifikan, karena Kazakhstan telah disejajarkan dengan Rusia, yang presidennya, Vladimir Putin, memandang Kazakhstan sebagai kembaran Rusia dalam hal sistem ekonomi dan politik, sebagai bagian dari lingkup pengaruh Rusia.
Bagi Kremlin, peristiwa tersebut merupakan tantangan lain yang mungkin dihadapi oleh kekuatan otokratis di negara tetangga.
Ini adalah pemberontakan ketiga terhadap negara yang bersekutu dengan Kremlin, setelah unjuk rasa pro-demokrasi di Ukraina pada tahun 2014 dan di Belarus pada tahun 2020.
Kekacauan tersebut mengancam melemahkan pengaruh Moskow di wilayah tersebut pada saat Rusia mencoba untuk menegaskan pengaruh dan kekuasaan ekonomi dan geopolitiknya di negara-negara seperti Ukraina dan Belarus.
Negara-negara bekas Uni Soviet juga mengamati unjuk rasa Kazakhstand dengan cermat, dan peristiwa di Kazakhstan dapat membantu memberi energi pada kekuatan oposisi di tempat lain.
Baca Juga: Didemo Rakyat, Presiden Kazakhstan Bubarkan Kabinet dan Tetapkan Keadaan Darurat
Kazakhstan juga penting bagi Amerika Serikat, karena menjadi negara yang signifikan bagi masalah energi negeri Paman Sam. Exxon Mobil dan Chevron, perusahaan energi AS, menanamkan puluhan miliar dolar di Kazakhstan barat, lokasi wilayah kerusuhan dimulai bulan ini.
Meskipun memiliki hubungan dekat dengan Moskow, pemerintah Kazakh juga mempertahankan hubungan dekat dengan Amerika Serikat. Lantaran, investasi minyak dipandang sebagai penyeimbang pengaruh Rusia.
Pemerintah Kazakhstan mencoba untuk memadamkan unjuk rasa dengan memberlakukan keadaan darurat dan memblokir situs jejaring sosial dan aplikasi percakapan, termasuk Facebook, WhatsApp, Telegram, dan, untuk pertama kalinya, aplikasi China WeChat. Unjuk rasa publik tanpa izin ditetapkan sebagai ilegal.
Pemerintah juga mengakui beberapa tuntutan para pengunjuk rasa, seperti membubarkan Kabinet dan mengumumkan kemungkinan pembubaran Parlemen, yang akan menghasilkan pemilihan umum baru. Namun, sejauh ini, langkah itu gagal menjinakkan ketidakpuasan massa.
Kurang dari tiga tahun lalu, presiden Kazakhstan yang sudah renta, Nursultan Nazarbayev, sekarang berusia 81 tahun, mengundurkan diri.
Nazarbayev adalah seorang mantan pekerja pabrik baja dan pemimpin Partai Komunis. Ia naik ke tampuk kekuasaan Kazakhstan pada tahun 1989, ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Selama pemerintahannya, ia menarik investasi besar dari perusahaan energi asing untuk mengembangkan cadangan minyak negara, yang diperkirakan mencapai 30 miliar barel. Cadangan minyak ini termasuk yang terbesar dari semua bekas republik Soviet.
Sebagai presiden terakhir yang masih hidup di Asia Tengah yang mengarahkan negaranya menuju kemerdekaan setelah Uni Soviet runtuh, ia menyerahkan kekuasaan pada 2019 kepada Tokayev, yang saat itu menjadi ketua Majelis Tinggi Parlemen dan mantan perdana menteri dan menteri luar negeri.
Tokayev secara luas dianggap sebagai penerus Nazarbayev, yang sampai saat ini dianggap memegang kekuasaan yang cukup besar, memegang gelar "Pemimpin Bangsa" dan menjabat sebagai ketua Dewan Keamanan negara itu. Tetapi, pemberontakan bisa menjadi pemutusan kekuasaan yang menentukan.
Sumber : Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.