PYONGYANG, KOMPAS.TV - Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un kembali hukum mati pejabat sekaligus anggota partainya.
Hukuman tersebut diberikan oleh Kim Jong-un karena pejabat tersebut memutuskan impor fasilitas medis murah dari China.
Hal ini bermula dari pembangunan Rumah Sakit Pyongyang yang dituntut untuk selesai dalam waktu enam bulan.
Namun, setelah selesai rumah sakit itu tak memiliki peralatan medis dasar.
Baca Juga: Donald Trump Menyukai Kim Jong-Un dan Akui Tak Pernah Hormati Presiden Korea Selatan
Dilaporkan oleh Daily NK dikutip dari Daily Mail, Rabu (28/4/2021), Kim Jong-un sendiri ingin agar fasilitas itu dilengkapi dengan peralatan medis dari Eropa.
Namun, rencana alternatif dibuat dengan menggunakan peralatan dari China, dan mengimpornya dengan harga murah.
Sayangnya, hal itu menimbulkan kemarahan Kim Jong-un, dan pejabat yang membuat alternatif tersebut dihukum mati.
Pejabat tersebut diketahui adalah Wakil Direktur Kementerain Luar Negeri, yang bertanggung jawab atas ekspor dan impor.
Seorang petinggi di Kementerian Kesehatan juga diberhentikan atas kasus ini.
Baca Juga: Kerap Ungkap Kekejaman Rezim Kim Jong-Un, Pelarian Korea Utara Ini Akui Takut Dibunuh
Kim Jong-un sendiri dikabarkan lebih memercayai produk Eropa yang diyakini memiliki kualitas tinggi.
Demi meluluskan keinginan Kim Jong-un, pihak partai berkuasa menyiapkan dana besar untuk melengkapi rumah sakit.
Namun sanksi Eropa terhadap Korea Utara, dan sulitnya membawa peralatan tersebut ke negara netral ketiga karena wabah Covid-19, membuat pejabat tersebut memutuskan mengimpor peralatan dari China.
Selain lebih mudah untuk didapat, peralatan medis China jelas lebih murah ketimbang Eropa.
Namun, kontrak impor tersebut telah ditandatangani sebelum Kim Jong-un menyetujui perubahan tersebut.
Baca Juga: Kim Jong-Un Hukum Mati Menterinya, Akibat Gagal Lakukan Pendidikan Jarak Jauh dan Mengeluh Kelelahan
Hal itulah yang kemudian menimbulkan kemarahan dari sang diktator
Sebelumnya Kim Jong-un juga telah menghukum mati seorang Menteri Pendidikan di negaranya.
Sang pejabat dianggap gagal membuat kemajuan terkait pendidikan jarak jauh, serta kerap mengeluh mengenai pekerjaannya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.