Meski Assad belum memasukkan namanya ke dalam bursa pilres, ia diprediksi akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden.
Pilpres kali ini akan menjadi masa jabatan Assad yang ke-4 dalam siklus 7 tahun masa kepresidenan.
Assad telah berkuasa sejak tahun 2000, saat ia mengambil alih tampuk pimpinan Suriah menyusul kematian ayahnya yang memimpin Suriah selama 30 tahun.
Pada pilpres tahun 2014, bursa pilpres Suriah dimeriahkan oleh sejumlah kandidat.
Namun, pihak oposisi dan negara-negara Barat melihat persaingan para kandidat melawan Assad ini terbilang simbolik, hanya untuk memberi semacam legitimasi pada presiden yang sedang menjabat.
Baca Juga: Presiden Suriah dan Istrinya Pulih dari Covid, Siap Jalani Tugas Rutin
Komunitas internasional tampaknya tidak akan mengakui keabsahan pilpres Suriah yang akan datang.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk resolusi politik konflik di Suriah, sebuah konstitusi baru seharusnya dirancang dan disetujui dalam referendum publik sebelum pilpres yang dipantau PBB berlangsung.
Namun, komite perancang konstitusi hanya membuat sedikit kemajuan, sementara Assad telah menuai dukungan dari Rusia dan Iran.
Bulan lalu, pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Joe Biden menyatakan tidak akan mengakui hasil pilpres Suriah kecuali pilpres dilaksanakan secara bebas, adil, dipantau oleh PBB dan mewakili seluruh lapisan masyarakat Suriah.
Baca Juga: UNICEF: 12.000 Anak Suriah Terbunuh dan Terluka Selama 10 Tahun Perang
Perang sipil telah melanda Suriah sejak tahun 2011, saat protes yang terinspirasi gelombang Arab Spring melawan keluarga Assad.
Kala itu berubah menjadi pemberontakan bersenjata sebagai respon tindakan keras nan brutal dari aparat militer Suriah.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.