BANGKOK, KOMPAS.TV - Seorang jurnalis Associated Press (AP) ditahan oleh polisi Myanmar saat meliput protes terhadap kudeta militer di negara tersebut.
Wartawan yang bernama Thein Zaw, 32, ditahan bersama sejumlah orang lainnya pada Sabtu (27/2/2021) pagi di Yangon, kota terbesar di negara itu.
Penangkapan terjadi saat polisi menertibkan pengunjuk rasa yang berkumpul di perempatan Hledan Center, yang menjadi titik temu para pengunjuk rasa yang kemudian melanjutkan aksi protes di tempat lain di kota itu.
Hingga hari Minggu, wartawan tersebut masih ditahan dan diyakini berada di Penjara Insein yang terkenal di Yangon.
Baca Juga: Polisi Bubarkan Aksi Protes Kudeta Militer di Myanmar
“The Associated Press menyerukan pembebasan segera jurnalis AP Thein Zaw, yang ditahan di Myanmar saat melakukan pekerjaannya,” kata Ian Phillips, wakil presiden AP untuk berita internasional.
“Jurnalis independen harus diizinkan untuk dengan bebas dan aman melaporkan berita tanpa takut akan pembalasan. AP mengecam dengan tegas penahanan sewenang-wenang terhadap Thein Zaw," ujarnya.
Klub Koresponden Asing Myanmar (FCCM) juga mengutuk penangkapan tersebut.
“FCCM menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat dari Thein Zaw dan jurnalis lain yang ditahan, dan mendesak semua otoritas terkait untuk memastikan keselamatan dan keamanan jurnalis yang menjalankan tugas profesional mereka meliput protes yang sedang berlangsung di negara itu,” katanya.
Pihak berwenang meningkatkan tindakan keras terhadap pengunjuk rasa dalam beberapa hari terakhir.
Baca Juga: Junta Militer Pecat Duta Besar Myanmar untuk PBB yang Mengutuk Kudeta
Pasukan keamanan melanjutkan penangkapan pada Minggu dan menembaki pengunjuk rasa. Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan memiliki informasi yang dapat dipercaya, bahwa sedikitnya 18 orang tewas dan 30 lainnya luka-luka pada peristiwa yang terjadi pada hari Minggu.
Pada Desember 2017, dua jurnalis yang bekerja untuk kantor berita Reuters ditangkap saat mengerjakan berita tentang minoritas Rohingya di Myanmar. Mereka dituduh memiliki dokumen resmi secara illegal.
Meskipun kasus mereka menarik perhatian internasional, mereka dihukum pada tahun berikutnya dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Mereka akhirnya dibebaskan pada 2019 dalam pengampunan massal oleh presiden.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.