JAKARTA, KOMPAS.TV-
Orang Tjina ada goembira
Bikin mesigit di Tambora
Dimoekanya ada makam
Pangeran dari 1001 malam
Ki Daeng sama Ki Moestodjib
Petikan puisi berjudul "Di Tambora:1761-204" itu bukan kiasan, namun catatan sejarah tentang Masjid di Tambora Jakarta yang dibangun sekitar tahun 1761 Maeshi atau 1174 Hijriah. Nama Ki Daeng dan Ki Moestodjib diperkirakan adalah pendiri dan pengurus dari masjid lama tersebut.
Ada yang mengatakan kedua nama itu sebenarnya orang yang sama, yaitu Ki Daeng Moestodjib, seorang Cina Muslim asal Makasar yang lama tinggal di bawah Gunung Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ia dihukum di Batavia hingga bebas dan sebagai ungkapan rasa syukur mendirikan masjid tersebut. Ki Daeng wafat sekitar tahun 1836 di Batavia.
Penulis puisi itu, Chairil Gibran Ramadhan yang sering disingkat CGR, mengumpulkan beragam sejarah dan hikayat masjid tua (baik yang masih ada atau yang sudah tak terlacak) dalam buku berjudul "Mesigit (Setangkle Puisi Sejarah dan Budaya- Betawi, Batavia, Jakarta)", yang kini sudah masuk cetakan kedua (penerbit Padasan).
Baca Juga: Diyakini Berpihak ke Masyarakat Betawi, Ormas FBR Dukung Pramono-Rano di Pilkada Jakarta 2024
Namun yang cukup unik, catatan sejarah itu dia tuliskan dalam bentuk puisi. Karena itu setiap puisi diberi catatan kaki untuk menjelaskan tempat, waktu dan sosok yang dimaksud dalam puisi. Mau tidak mau, pembaca harus mengalihkan pandangan ke catatan kaki yang berada di bawah setiap halaman. Tapi untungngya, CGR cukup efektif memadatkan setiap catatan kaki sehingga tidak melelahkan.
Keunikan lainnya, puisi tentang masjid ini ditulis dalam ejaan lama, yang sering disebut Melayu Rendah. Tampaknya CGR ingin sekalian mengajak pembaca mengembara ke waktu lampau lewat penulisan ejaan lama. Jadinya, puisi-puisi yang dihadirkan seperti (memakai istilah Afrizal Anoda dalam pendahuluan buku ini), "Bentuk teatrikal dalam sub-dialek Betawi Pinggir dan sub-dialek Betawi Tengah".
Buku setebal 174 halaman ini menyajikan dua bagian. Bagian pertama "Mimbar" dan bagian kedua "Rekal". Keduanya merujuk pada instrumen yang hadir di masjid. Mimbar ada di depan masjid berfungsi bagi Imam memimpin salat atau khatib menyampaikan ceramahnya. Sedangkan rekal tempat mendudukan Al-quran saat dibaca, lazimnya terbuat dari kayu.
Pada "Mimbar: yang terdiri dari 39 puisi, CGR mengumpulkan beragam masjid yang ada dan pernah ada di tanah Betawi. Untuk mengumpulkan catatan sejarah tentang masjid, CGR harus turun ke lapangan melihat lokasinya, bertanya kepada orang yang tahu bahkan riset baik dari kepustakaan di Indonesia maupun di Belanda. Pendeknya, dia menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk menghasilkan puisi-puisi sejarah tersebut.
Baca Juga: Makan di Sate Senayan Menteng, CEO Apple Tim Cook Nyobain Soto Betawi hingga Nasi Kuning
Pada bagian dua, "Rekal" yang terdiri dari 61 puisi, bukan lagi tentang masjid tua tapi lebih banyak mengungkap ritus dan budaya berislam di Batavia atau Jakarta seperti ngaji, ziarah kubur, tradisi lebaran, malam nisfu syaban, maulid nabi dan lebaran haji. Misalnya puisi "Hari Puasa Pertama: 1965-2005"
Djalanan kosong
Perut melompong
Lihat ajam ditarangan
Pisau meliuk di batu asahan
"Buat Buka"
Asap kabut merah
Beberapa istilah Betawi lama, yang sudah jarang digunakan saat ini, lagi-lagi diberi catatan kaki. Seperti kata "tarangan", yang artinya sarang tempat ayam bertelur.
Tapi pada bagian kedua, CGR sudah beralih ke Ejaan Suwandhi yang berlaku pada kurun 1947-1972, ejaan yang lebih mudah dibaca. Pada bagian akhir buku, ditampilkan dua puisi "Sakartul Maut" dan "Achir" menggambarkan ujung kehidupan manusia hingga ke liang kubur.
Sebagai anak Betawi asli yang lahir di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, sejak awal CGR meneguhkan karya-karyanya dengan menggali kekayaan tanah kelahirannya tersebut. Dan itu tidak dilakukan sambil lalu, namun serius mempelajarinya. Untuk mengetahui kampung tempatnya dilahirkan misalnya, CGR sampai berkorespondensi hingga ke Belanda. Di sana dia mendapatkan data kampungnya yang tercatat pada abad 19 lengkap bersama kekayaan yang tersimpan di dalamnya.
Dan buku ini bukan karya pertama yang mengupas Betawai dari berbagai aspek, dia pernah menulis "Loewar Batang" (Luar Batang), "Langgar Tinggi", "Liswar", "Samse", "Beranca" hingga "Kembang Terate" dan "Tjente Manis Hoedjan Gerimis" yang juga ditulis gaya yang sama, dilengkapi dengan catatan budaya dan sejarah yang kaya.
Ketekunannya dalam menggeluti budaya tempat dia dilahirkan dan dibesarkan, tampaknya berpijak pada karakter masyarakat Betawi seperti pada lagu "Si Doel Anak Anak Betawi" atau "Si Doel Anak Sekolahan": Kerjaanya sembahyang mengaji. Bagi CGR, sembahyang dan mengaji itu diperluas maknanya. Bukan sekadar ibadah personal tapi jadi ibadah sosial, termasuk menulis dan berkarya hingga bisa dinikmati banyak orang.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.