"Bahkan, sebanyak 15 warga penolak tambang PT TMS justru dikriminalisasi. Satu di antaranya atas nama Robison Saul yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Kepulauan Sangihe," lanjut JATAM.
Hal serupa juga terjadi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP/Harita Group) yang telah enam kali menerobos lahan milik warga di Desa Sukarela Jaya dibiarkan tanpa penegakan hukum.
Lahan-lahan yang diterobos itu tidak pernah diserahkan warga kepada PT GKP, juga tidak menjadi bagian dari konsesi tambang perusahaan. Parahnya, warga penolak tambang yang mempertahankan tanahnya justru diintimidasi, 30 orang dikriminalisasi.
Demikian juga di Desa Pasar Seluma, Bengkulu. Keberadaan PT Faminglevto Bakti Abadi yang ilegal, akibat secara administratif belum terpenuhi, juga tak pernah diproses hukum. Sebaliknya, warga yang menentang operasi perusahaan itu justru diintimidasi, delapan orang warga yang melakukan aksi bahkan sempat ditangkap oleh polisi.
Laporan JATAM juga menyebutkan kejadian serupa ada di Buli dan Maba, Halmahera Timur. Di wilayah tersebut, operasi PT ANTAM yang menyebabkan pencemaran kawasan pesisir dan laut dan berdampak pada hilangnya wilayah tangkap nelayan, tak pernah diproses hukum.
Baca Juga: Pengamat Kepolisian soal Dana Tambang Ilegal ke Kabareskrim: Usut, Jangan Dibiarkan
Lalu di Desa Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, operasi PT First Pacific Mining dan PT Zhong Hai Rare Metals Mining mencemari Talaga Sagea atau Danau Legaelol. Kini, pemerintah justru memberikan karpet merah bagi perusahaan ini untuk membangun smelter nikel dan menambang di kawasan karst dan hutan Sagea yang kaya akan sumber mata air dan keanekaragaman hayati serta satwa endemik.
"Kuat kesan pemerintah dan polisi cepat memproses tuntutan dari perusahaan besar yang aktivitasnya merusak ruang hidup warga dan lambat memproses tuntutan warga yang mempertahankan ruang hidup mereka," sebut JATAM.
Selain terjadi bias kepentingan dalam penegakan hukum terhadap penambang ilegal dan korporasi (legal), pemerintah dan institusi Polri juga mesti membersihkan tubuhnya sendiri dari praktik mafia pertambangan.
Di tubuh Polri sendiri, selain cenderung berpihak kepada korporasi dalam menekan resistensi warga, dugaan aparat kepolisian bermain di balik maraknya tambang ilegal juga santer terdengar.
Baca Juga: Ditegur Mahfud, 7 Channel TV Akhirnya Hentikan Siaran Analog, Mayoritas Punya MNC Group
Sebagian contoh keterlibatan aparat kepolisian dalam sektor pertambangan itu, bisa terlihat dari kasus yang menjerat Briptu Hasbudi di Sekatak Buji, Bulungan, Kaltara, atau anggota polisi yang diduga berada di balik penambangan pasir timah di Perairan Teluk Kelabat, Belinyu, Bangka, serta kasus anggota polisi yang diduga bermain tambang ilegal di Sungai Walanae, Kebo, Lilirilau, Soppeng, Sulsel.
Sudah menjadi rahasia umum, aparat keamanan juga banyak terlibat di tambang batubara ilegal di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
"Dengan demikian, penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan institusi Polri itu sudah seharusnya menyasar akar persoalan, yakni kejahatan korporasi tambang legal dan ilegal, berikut sanksi yang diberikan tidak sebatas pada aspek administratif, tetapi pidana kejahatan lingkungan," tegas JATAM.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.