”Kalaupun ada karang yang bisa dijadikan dasar klaim, letaknya lebih dari 370 mil laut dari Natuna. Tidak bisa juga mengklaim sampai ke Natuna,” ujar mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI itu.
Hukum internasional juga tidak mengenal istilah sembilan garis putus-putus yang dipakai China mengklaim sebagian Laut China Selatan.
”Jadi, protes China tidak perlu dilayani. Tidak ada dasar hukumnya,” katanya.
Selain itu, Eddy melihat, China pun menyadari dasar protesnya lemah. Hal itu dibuktikan dengan pengerahan kapal survei untuk berlayar ke dekat lokasi pengeboran.
”Kalau mereka yakin, pasti mengirim kapal penjaga pantai yang memang penegak hukum,” ujarnya.
Manuver Indonesia pada masalah tersebut dipandang sudah tepat. Indonesia mengerahkan kapal perang dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk berjaga di sekitar lokasi pengeboran.
Kehadiran kapal-kapal perang itu menunjukkan Indonesia punya dasar kuat atas klaimnya.
”Biar saja kapal mereka berlayar, freedom of navigation. Kapal perang negara lain juga bebas berlayar dalam prinsip itu, safe passage,” katanya.
Indonesia pun diketahui mengirim nota balasan atas protes itu. Nota balasan Indonesia merupakan kelaziman dalam diplomasi.
”Posisi Indonesia dari dulu sudah jelas, tidak ada sengketa wilayah dengan China dan tidak perlu ada pembicaraan apa pun soal itu,” ujarnya.
Sejumlah diplomat senior menyebut, China bisa disebut kalah jika terkait pengeboran di Blok Tuna. Sebab, penyelesaian pengeboran adalah kemenangan diplomatik Indonesia.
Berbeda dengan negara lain yang tidak bisa menyelesaikan pengeboran karena ada intervensi dari negara lain.
Baca Juga: Gangguan Kapal Survei China di Perairan Natuna Usik Hak Berdaulat Indonesia