Jumlah itu belum dikurangi biaya sewa sawah dan ongkos buruh harian yang mencapai Rp 3,9 juta.
Belum lagi ada biaya tambahan untuk mengatasi hama dan sewa pompa pada saat tanam di musim kemarau, yakni sekitar Rp 1 juta.
Selama tiga bulan atau 115 hari, petani mendapatkan keuntungan bersih lebih kurang Rp 10 juta per hektar.
”Keuntungan yang didapat petani memang tidak besar kalau harga jual di bawah standar. Kami berharap pemerintah bisa menaikkan HPP,” kata Saepudin.
Di samping itu, Ketua Kelompok Tani Tirta Berkah Desa Ciranggon Asep Saepudin mengatakan, pada panen musim lalu, harga jual GKP di tingkat petani Rp 4.500 per kg.
Bahkan, sebelum itu pernah ada hasil panen anggota kelompoknya yang laku terjual di bawah standar HPP.
Harga jual yang fluktuatif ini kerap kali terjadi saat musim hujan atau memasuki panen raya.
Persoalan yang dihadapi sejumlah petani tak hanya itu.
Pada pertengahan tahun lalu, sebagian kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi karena stok habis atau langka saat masa pemupukan.
Sehingga, mereka harus mengeluarkan biaya pembelian pupuk nonsubsidi hingga dua kali lipat, yaitu Rp 2 juta.
Dari situ, menurut Asep, sebaiknya kebijakan pupuk bersubsidi dihapuskan dan dialihkan untuk peningkatan HPP menjadi Rp 5.000 per kg.
Melihat ketersediaan pupuk bersubsidi tak bisa menjamin akan meningkatkan produktivitas panen.
Padahal, ongkos produksi yang dikeluarkan sama atau jauh lebih besar apabila pupuk bersubsidi langka.
“Anggaran pupuk bersubsidi sebaiknya dialihkan ke harga gabah saja, ya. Kalau jatah pupuk dikurangi, bagaimana mau swasembada beras. Ongkos produksi semakin tinggi, tapi harga jual bisa turun,” tuturnya.
Baca Juga: Alasan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Tak Setuju Impor Beras Saat Panen Raya
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.