JAKARTA, KOMPAS.TV – Keberadaan startup sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan startup perlu didukung dengan perangkat penyimpanan data yang tinggi untuk meningkatkan performa bisnis.
Untuk itu, hadirnya pusat data data Amazon Web Services (AWS) di Indonesia disambut baik oleh pelaku perusahaan startup di Indonesia, salah satunya PT Basicteknologi Intersolusi Tersinergi (Basic IT Team).
Chief Technology Officer Basic IT Team, Rogers Dwiputra Setiady mengatakan, dirinya sudah memiliki akun AWS dan mempelajari komunitas developer global AWS sejak 2015. Kemudian pada tahun 2018, Rogers mulai menggunakan AWS untuk Dev Workload.
“Saya mencoba ikut ujian sertifikasi entry level, yaitu Cloud Practitioner dan menjadi Academy Instructor di Telkom University,” ujar Rogers.
Rogers menyebutkan, AWS menawarkan keunggulan dari segi fleksibilitas metode pembayaran yang biasa disebut dengan pembayaran pay as you go.
Pada tahun 2020, Rogers memutuskan perusahaan startup-nya untuk bermigrasi secara penuh menggunakan AWS. Di tahun yang sama, Rogers terpilih menjadi Community Builders AWS Indonesia.
Rogers mengakui bahwa layanan AWS memberikan edukasi dan pengalaman perjalanan menuju cloud yang lebih baik.
Perjalanan migrasi stratup
Ada berbagai alasan mengapa Rogers memutuskan untuk bermigrasi menggunakan layanan AWS secara total, antara lain adalah keunggulan gartner magic quadrant.
Dalam perspektif seorang developer, Rogers mengaku mendapatkan pengalaman yang berbeda saat belajar dan menggunakan layanan AWS karena didukung oleh komunitas yang sangat suportif.
Baca Juga: Demokratisasi Akses Layanan Kesehatan dengan Teknologi Cloud
Tahap paling awal migrasi saya adalah melakukan perubahan pada fitur esensial e-presensi yaitu absen pengenalan wajah (face recognition).
Layanan tersebut merupakan aplikasi berbasis cloud untuk manajemen sumber daya manusia. Aplikasi tersebut mengalami pertumbuhan signifikan sejak pandemi Covid 19.
Arsitektur layanan AWS memiliki kelebihan dari segi skalabilitas, high availability namun tetap efisiensi biaya. Berbeda dengan arsitektur sebelumnya yang memiliki banyak kekurangan.
Sebelumnya, Basic IT Team menggunakan sebuah instance biasa untuk server aplikasi yang terhubung ke instance database. Ada hal menarik, yaitu sebuah instance berisi aplikasi face recognition berbasis Python.
Salah satu fitur yang paling sering digunakan, yaitu e-presensi dengan fitur pengenalan wajah. Fitur tersebut memiliki workload traffic paling tinggi dan esensial.
“Saya menyadari arsitektur ini tidak bersifat high availbility. Bayangkan jika salah satu instance bermasalah, maka sistem tidak dapat berjalan sama sekali dan tidak memiliki backup, itu sangat buruk bagi startup baru yang sedang membangun reputasi,” ujar Rogers.
Kekurangan kedua adalah sistem sebelumnya tidak scalable, saat awal pandemi, pengguna e-presensi meningkat dan kami tidak siap melayani ledakan user dengan arsitektur ini.
Kekurangan ketiga, traffic e-presensi hanya tinggi di waktu tertentu, yaitu saat absen masuk dan absen pulang.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.