Kedua, kategori keamanan yang terdiri dari percobaan bunuh diri dan menyakiti diri sendiri, kekerasan pada anak, dan penindasan maupun pelecehan,
Ketiga, kategori konten yang tidak benar, seperti ujaran kebencian, gambar kekerasan, dan aktivitas seksual maupun gambar telanjang.
Keempat, kategori integritas dan keaslian, yang meliputi akun palsu dan spam.
"Untuk memberantas konten misinformasi, Meta juga bekerja sama dengan pemeriksa fakta independen yang disertifikasi melalui International Fact-checking Network, di antaranya Kompas, Tempo, Tirto, Mafinfo, dan AFP," terangnya.
Di sisi lain, hasil penelitian Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada (UGM), menemukan bahwa konten berbahaya didefinisikan secara berbeda antara pemerintah dengan perusahaan penyedia layanan media sosial, sehingga menghasilkan tanggapan yang berbeda.
Baca Juga: Din Syamsuddin: Ujaran Kebencian Lahir dari Rasa Takut dan Inferioritas
CFDS mengungkap, dalam kerangka hukum Indonesia, semua konten berbahaya dapat dituntut secara pidana, sementara platform menggunakan mekanisme lain, seperti menghapus konten, membatasi distribusi, atau memblokir pengguna.
Peneliti CFDS Faiz Rahman mengatakan, pengaturan konten berbahaya di Indonesia masih belum sejalan dengan standar di level internasional.
"Di Indonesia, penanganan terkait konten berbahaya masih mengutamakan pemidanaan," jelasnya di acara yang sama, Selasa (28/6).
Menurutnya, pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas dengan membedakan antara konten berbahaya dengan konten ilegal.
Ia mengatakan, konten ilegal merupakan konten yang melanggar hukum internasional dan dapat dituntut secara pidana. Sedangkan konten berbahaya adalah konten yang dianggap berbahaya atau tidak menyenangkan dan mestinya tidak dikriminalisasi oleh negara.
Senada, peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Genoveva Alicia, mengatakan bahwa moderasi konten berbasis sistem perlu dilakukan sebelum hukum pidana dipilih.
"Pidana adalah pilihan terakhir," ungkapnya.
Faiz dan Alicia mendorong pemerintah untuk segera merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam menindak penyebar konten di Internet maupun media sosial.
"Perlu penyamaan persepsi aparat penegak hukum untuk berhati-hati dalam melihat dan memilah kasus yang berkaitan dengan konten, bisa dipidana atau tidak," pungkas Alicia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.