JAKARTA, KOMPAS.TV - Pada Jumat (19/7/2024) pagi, dunia dikejutkan dengan gangguan teknologi massal yang melanda berbagai layanan esensial, termasuk maskapai penerbangan, penyiaran televisi, bank, dan lainnya.
Gangguan ini menyebabkan munculnya layar biru kematian (Blue Screen of Death) pada banyak mesin Windows di seluruh dunia. Semua ini berawal dari satu perusahaan perangkat lunak, CrowdStrike.
Dilansir The Verge, CrowdStrike, yang didirikan pada tahun 2011 dan berbasis di Texas, Amerika Serikat, adalah perusahaan yang bergerak di bidang keamanan siber.
Mereka memiliki reputasi dalam membantu mendeteksi dan mencegah pelanggaran keamanan.
Sejak didirikan, CrowdStrike telah menangani beberapa serangan siber besar, termasuk peretasan Sony Pictures pada tahun 2014 dan serangan siber Rusia terhadap Komite Nasional Demokrat pada 2015 dan 2016.
Perusahaan ini memiliki sekitar 29.000 pelanggan, dengan lebih dari 500 di antara mereka masuk dalam daftar Fortune 1000.
Hingga Kamis (18/7/2024) malam, nilai perusahaan tersebut mencapai lebih dari 83 miliar dolar AS atau Rp1.345 triliun.
Gangguan global yang terjadi pada 19 Juli 2024 disebabkan oleh update cacat pada platform utama CrowdStrike, Falcon.
Baca Juga: Fakta-Fakta Pemadaman Massal Microsoft yang Sebabkan Layar Biru dan Gangguan Global
Platform ini adalah solusi berbasis cloud yang menggabungkan beberapa solusi keamanan dalam satu hub, termasuk antivirus, perlindungan endpoint, deteksi ancaman, dan pemantauan real-time.
Update yang bermasalah ini menginstal perangkat lunak yang rusak ke dalam sistem operasi inti Windows, menyebabkan sistem terjebak dalam boot loop dan menampilkan pesan kesalahan.
Akibatnya, banyak perusahaan, termasuk sebuah maskapai di India, terpaksa kembali menggunakan cara manual untuk menjalankan operasi mereka.
CEO CrowdStrike George Kurtz menyatakan perusahaannya sedang bekerja sama dengan pelanggan yang terkena dampak untuk memperbaiki cacat tersebut.
Kurtz menekankan, masalah ini bukan disebabkan oleh serangan siber dan tidak mempengaruhi mesin Mac atau Linux.
Lukasz Olejnik, seorang peneliti keamanan siber independen, menjelaskan perangkat lunak sangat saling terhubung dan bergantung satu sama lain.
Namun, banyak titik kegagalan tunggal, terutama ketika ada monoculture perangkat lunak dalam sebuah organisasi.
Menurut Olejnik, masalah ini bisa memakan waktu "hari hingga minggu" untuk diselesaikan, karena administrator teknologi informasi (information technology/IT) mungkin perlu memiliki akses fisik ke perangkat yang terkena dampak.
Meskipun sebagian besar sistem diperkirakan dapat dipulihkan, beberapa mungkin tidak bisa.
CrowdStrike telah mengeluarkan perbaikan, tetapi pemulihan penuh memerlukan upaya besar dari tim IT perusahaan yang terkena dampak.
Kecepatan pemulihan bergantung pada ukuran dan sumber daya tim IT masing-masing perusahaan.
Baca Juga: Kondisi Layanan Maskapai di Bandara Soekarno Hatta Pasca Windows "Error" di Berbagai Negara
Sumber : The Verge
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.