Kompas TV saintek sains

Lebih Parah dari Merokok, Polusi Udara Pangkas 2,5 Tahun Harapan Hidup Orang Indonesia

Kompas.tv - 3 Agustus 2023, 11:13 WIB
lebih-parah-dari-merokok-polusi-udara-pangkas-2-5-tahun-harapan-hidup-orang-indonesia
Polusi udara di Jakarta. (Sumber: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Penulis : Wella Andany | Editor : Iman Firdaus

IISD menilai produksi listrik dari sumber terbarukan bisa jauh lebih murah dibandingkan listrik batu bara.

“Pemerintah Indonesia berencana untuk mencapai 23 persen produksi listrik dari sumber terbarukan pada tahun 2025. Namun, sejak 2007, mayoritas peningkatan produksi listrik berasal dari batu bara, sementara porsi produksi listrik terbarukan masih tetap di kisaran 12 persen dari total produksi. Kecuali terdapat perubahan di tingkat kebijakan utama, sulit sekali mencapai target 23 persen,” beber IISD.

Transisi dari tenaga listrik batubara ke energi terbarukan akan berdampak sangat positif dalam mengurangi polusi udara, dan pada gilirannya, pada kesehatan masyarakat Indonesia.

“Sebenarnya pemerintah enggak rugi dengan mengurangi subsidi energi karena di sisi lain pemerintah akan mempunyai kemampuan lebih kuat untuk memberikan layanan kesehatan. Kalau di survei masyarakat ada dua hal yang selalu menjadi keinginan masyarakat tertinggi, kesehatan dan pekerjaan,” kata Lucky.

IISD pun menyarankan beberapa solusi.

Pertama, pemerintah berhenti menyubsidi batu bara. Sebab, dengan terus menyubsidi batu bara dan bahan bakar fosil lainnya, berarti pemerintah menyubsidi polusi udara yang berbahaya serta penyakit pernapasan dan penyakit lainnya yang menimpa masyarakat Indonesia.

Kedua, pemerintah harus berinvestasi lebih di bidang kesehatan. Data dan penelitian yang memadai dibutuhkan untuk membantu memahami biaya kesehatan dari batu bara di Indonesia.

Pemerintah harus memperkuat upaya mengukur dan memonitor stasiun-stasiun yang ada yang menunjukkan tingkat polusi udara di kota-kota utama dan daerah yang berdekatan dengan PLT batu bara untuk menelusuri standar kualitas udara.

Ketiga, Indonesia harus beralih ke sumber energi yang lebih bersih. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target memenuhi 23 persen kebutuhan energi dari energi baru dan terbarukan, namun kapasitas batu bara diprediksi masih akan meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan.

Momok Pembiayaan

Untuk negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki kemampuan fiskal terbatas, pembiayaan peralihan energi yang lebih bersih menjadi momok.

Kebutuhan investasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk mencapai target nol emisi karbon atau net zero emission pada tahun 2060 membutuhkan biaya sekitar 1.108 miliar Dollar AS. Sampai saat ini, potensi EBT yang baru dimanfaatkan oleh Indonesia masih mencapai 2 persen.

"Bicara soal investasi yang dibutuhkan berkisar 1.108 miliar Dollar AS atau rata-rata per tahun 28,5 miliar Dollar AS. Realisasi per tahun 2022, baru di angka 1,55 miliar Dollar AS yang artinya masih jauh dari investasi yang dibutuhkan," kata Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Trois Dilisusendi, dikutip dari Kompas.id Rabu (17/5/2023).

Baca Juga: Polusi Udara Berdampak pada Perkembangan Janin, Orang Tua Harus Waspadai Hal Ini

Diketahui, Indonesia telah menargetkan nol emisi karbon pada tahun 2060 sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah ditingkatkan kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,2 persen pada tahun 2030. Untuk mencapai ambisi tersebut, pemerintah telah menyusun peta jalan mengenai EBT sebagai upaya merealisasikan nol emisi karbon 2060.


 

Mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, EBT ditargetkan dapat mencapai 23 persen dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2025. Namun, pada tahun 2022, capaian EBT baru mencapai 12,3 persen yang seharusnya ditargetkan 15,7 persen.

“Potensi yang dimiliki Indonesia sangatlah besar besar. Namun, penggunaan EBT masih sangat kecil, yakni sekitar 2 persen atau sekitar 12.602 megawatt. Sementara kita memiliki potensi sebesar 3.689 gigawatt. Jadi, ruang untuk EBT terus berkembang ini masih sangat besar," lanjut Trois.

Lucky mengatakan, masalah pembiayaan transisi energi negara berkembang harus dilihat oleh pemimpin dunia sebagai masalah bersama. Tak sekadar target, implementasi harus segera direalisasikan guna menciptakan masyarakat yang lebih sehat. Ia berharap lewat COP28 tahun ini para pemimpin dunia dapat mencapai kesepakatan yang dapat mempercepat perluasan transisi energi.

“Ini cuma bisa diselesaikan dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk jangan main-main lagi sama target,” pungkasnya.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x