Selang beberapa tahun kemudian, tetangga Ngadenin menjual lahannya ke pengusaha hotel. Ngadenin lalu dipaksa dengan ancaman apabila tidak menjual lahan kepada pengusaha hotel. Tak punya kuasa, Ngadenin akhirnya menyerah.
"Saya ditakut-takuti kalau enggak mau jual ke dia (pemilik hotel), nanti saya ditakut-takuti akan dikurung, ditutup (akses jalan) akhirnya saya nyerah," tutur Ngadenin melansir Kompas.com.
Baca Juga: Arus Balik Libur Panjang: Tol Jagorawi, Tol Bekasi, Tol Tangerang Arah Jakarta Dipadati Kendaraan
"Ditawar harganya sangat sangat rendah, tidak sesuai kalau buat beli rumah pengganti enggak dapet, setengah saja enggak dapat," kata dia.
Repotnya akses menuju rumah lantaran tertutup tembok hotel membuat Ngadenin dan istri mengungsi.
Ngadenin dan istri memilih mengungsi di warung tempatnya berjualan sate dan tongseng.
Baca Juga: Orang Tua Siswi SMP di Bekasi yang Jadi Korban Pencabulan Mengamuk di Persidangan
Sementara itu, kelima anak Ngadenin memilih menyewa kos-kosan, lantaran warung tersebut tidak muat ditempati tujuh orang.
"Sudah kelelahan kalau mau pulang. Got ini kalau menurut saya kan rawan, ada paku, dan beling, kawat nonjol begitu," papar Ngadenin.
"Akhirnya saya memutuskan untuk tidur (tinggal) di warung," sambung Ngadenin.
Selain Ngadenin, dua rumah tetangganya juga memiliki nasib serupa. Tetapi, satu di antaranya, milik Pak Marno, telah dijual ke pihak hotel.
Untuk saat ini, yang masih bertahan hanya Ngadenin dan Peni. Meski demikian, keduanya sudah tidak menempati rumah tersebut, karena sudah tidak layak huni.
"Tadinya ada tiga rumah, tapi sekarang hanya sisa dua, rumah saya dan Bu Peni. Rumah Pak Marno sudah dijual," kata Ngadenin.
Sumber : Kompas TV/Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.