Biasanya, kata Paino, Sambatan dilaksanakan pada hari Minggu atau hari libur, sebab jika hari kerja, sebagian besar warga sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Saat para pria warga desa sibuk bekerja sambil bercengkrama di halaman samping, sekitar sembilan atau sepuluh perempuan terlihat memasak di halaman belakang rumah.
Asap putih tipis dari tungku masak dari beberapa batako yang disusun terlihat membumbung dan tampak dari tempat para pria bekerja.
Tiga perempuan paruh baya duduk di semacam kursi besar berbahan bambu atau lincak. Masing-masing mereka memegang pisau. Ada yang memotong sayuran, dan ada mengupas bumbu dapur.
Seorang pria datang, kemudian jongkok di depan tungku. Jemarinya yang sudah mulai keriput terlihat menggenggam batok kelapa.
Ia melemparkan beberapa potong batok kelapa tersebut ke dalam bara api di bawah panci yang menghitam.
Perlahan asap putih yang muncul semakin tebal, lalu saat batok kelapa itu memerah terbakar, asap dari batok kelapa itu menipis.
Hanya beberapa meter dari kelompok ibu-ibu itu, tiga perempuan lain beraktivitas di depan kompor gas. Mereka memasak, entah sayur atau lauk pauk.
Tradisi Sambatan bukan hanya diikuti oleh kaum pria saja. Beberapa perempuan tak jarang turut serta memberi bantuan tenaga. Biasanya merekalah yang menyiapkan konsumsi untuk para pria yang bekerja.
Seorang pria paruh baya yang duduk di rumput, tidak terlalu jauh dari kelompok ibu-ibu tersebut, ramah mengajak berbincang.
Kemadi (54), nama pria itu, menuturkan bahwa tradisi Sambatan sudah ada di daerah itu sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun lalu.
Namun, untuk lebih menguatkan dan memudahkan pelaksanaan tradisi itu, ia beserta puluhan warga lainnya yang berjumlah sekitar 60 orang membentuk kelompok.
Nantinya, saat ada warga yang hendak melakukan hajatan atau membutuhkan bantuan tenaga, anggota kelompok Guyub Rukun tersebut akan membantu dan berbagi tugas.
Mereka akan bergantian dalam mengerjakan tugas, termasuk memasak dan menyiapkan konsumsi.
“Nggih mboten dibayar (tidak dibayar),” tuturnya.
“Tapi untuk yang bertugas memasak nasi biasanya tidak bergantian, sudah ada petugas khususnya,” lanjut Kemadi.
Dengan membagi tugas, menurutnya kegiatan gotong royong yang dilakukan pun menjadi lebih terarah.
Selain melestarikan tradisi Sambatan, beberapa warga di dusun ini juga aktif dalam bidang kesenian, seperti jathilan, panjidur, dan kesenian tradisional lainnya.
Di wilayah dusun Jambon juga terdapat satu mata air, yakni Sendang Ponces, yang tidak pernah kering meski kemarau panjang.
Sendang itu hanya berdiameter sekitar 2 meter dan terletak tepat di bawah pohon berukuran raksasa.
Warga setempat memanfaatkan air sendang untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, minum, mencuci, dan kebutuhan lain.
Mereka pun tidak perlu jauh-jauh menuju sendang untuk mendapatkan air, sebab sudah ada satu kelompok yang bertugas untuk mengelola air sendang.
“Namanya Pamdus, jadi air sendang dipompa terus dialirkan ke rumah warga pakai pipa,” kata Kemadi.
Kemadi mengaku dalam sebulan dirinya hanya mengeluarkan biaya maksimal Rp40 ribu untuk pembayaran air dari sendang.
Uang yang terkumpul dari pengelolaan air sendang tersebut, menurut Kemadi, sebagian dimasukkan ke kas kampung, dan digunakan oleh warga saat ada kegiatan.
“Jadinya dari warga untuk warga. Misalnya ada kegiatan apa di kampung, bisa pakai uang kas itu,” lanjut Kemadi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.