SOLO, KOMPAS.TV – Pranata Mangsa atau diterjemahkan penentuan musim merupakan sistem penanggalan pertanian yang lazim digunakan masyarakat Jawa.
Namun, pemahaman seperti ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia, seperti suku Sunda dan suku Bali (dikenal sebagai Kerta Masa), atau di beberapa tradisi Eropa, misalnya pada bangsa Jerman dikenal sebagai Bauern kalendar (penanggalan untuk petani).
Sistem kalender ini merupakan kearifan lokal yang digunakan untuk menentukan musim bercocok tanam. Sistem ini berdasarkan ilmu astronomi supaya dapat mengolah lahan secara efektif dan efisien.
Berikut penjelasan tentang pranata mangsa yang dirangkum dari berbagai sumber.
Pranata Mangsa berasal dari kata 'pranata' yang berarti aturan dan 'mangsa' yang berarti masa atau musim.
Jadi, Pranata Mangsa adalah aturan waktu yang digunakan para petani atau nelayan sebagai penentuan atau mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Baca Juga: Manfaat Rebusan Kunyit, Lengkuas dan Jeruk Nipis, Bikin Tak Mudah Flu di Musim Hujan
Melansir dari kemdikbud.go.id, Kalender Pranata Mangsa disusun berdasarkan pada peredaran matahari. Kalender ini memiliki 1 siklus (setahun) dengan periode 365 hari atau 366 hari.
Ada yang menyebut, pranata mangsa ini adalah kombinasi ilmu dan pengalaman. Pasalnya, untuk memahami pranata mangsa, indra harus lihai menanggapi berbagai macam perubahan yang terjadi di alam.
Kicau burung, desir angin, maupun cahaya matahari dapat menjadi petunjuk bagi petani. Penggunaan sistem penanggalan ini adalah sebuah teknologi yang benar-benar brilian.
Kalender pranata mangsa menunjukkan adanya korelasi antara biologi, kosmologi, klimatologi, dan sosiologi masyarakat pedesaan, dikutip dari ugm.ac.id.
Sementara itu, menurut sumber aslinya yaitu, Kitab Primbon Qamarussyamsi Adammakna yang dikutip dari salamyogyakarta.com menjelaskan, Pranata Mangsa diambil dari sejarah para raja di Surakarta, yang tersimpan di musium Radya-Pustaka.
Menurut sejarah, sebetulnya baru dimulai tahun 1856, saat kerajaan Surakarta diperintah oleh Pakoeboewono VII yang memberi patokan bagi para petani agar tidak rugi dalam bertani, tepatnya dimulai tanggal 22 Juni 1855 titik balik matahari pada musim panas, penanggalan ini dipakai di daerah tropis seperti di jawa dan bali.
Secara umum pranata mangsa terbagi menjadi empat musim (mangsa), yakni musim hujan (rendheng), pancaroba akhir musim (mareng), musim kemarau (ketiga), dan musim pancaroba menjelang hujan (labuh).
Pranata mangsa mengenal siklus tahunan dalam pertanian. Dalam siklus ini terdapat 12 mangsa atau waktu yang terdiri dari simbol-simbol yang berbeda-beda. Sebanyak 12 mangsa ini diantaraya, kasa (bintang sapi gumarah), karo (tagih), ektelu (lumbung), dan sebagainya.
Berikut ini nama wangsa beserta ciri-ciri dan tuntutan untuk petani;
1. Kasa (Kartika): Ketiga - Terang
2. Karo (Pusa): Ketiga – Paceklik
3. Katelu (Manggasri): Ketiga – Semplah
4. Kapat (Sitra) Labuh – Semplah
5. Kalima (Manggakala) Labuh - Semplah
6. Kanem (Naya) Labuh - Udan
7. Kapitu (Palguna) Rendheng - Udan
8. Kawolu (Wisaka) Rendheng - Pangarep-arep
9. Kasanga (Jita) Rendheng - Pangarep-arep
10. Kasepuluh (Srawana) Mareng - Pangarep-arep
11. Desta (Padrawana) Mareng - Panen
12. Sada (Asuji) Mareng - Terang
Masih relevankah Pranata Mangsa?
Melansir dari fpb.uksw.edu, di era globalisasi sistem pertanian pranata mangsa mulai ditinggalkan oleh petani.
Adanya pemanasan global menyebabkan musim menjadi menyimpang, seperti musim kemarau menjadi hujan atau musim hujan menjadi musim kemarau.
Pemasanan global menyebabakan pranata mangsa mulai dilupakan petani. Saat ini, masyarakat dituntut untut berpikir terbuka, bahkan petani dituntut memiliki wawasan internasional. Hal ini dilihat dari, bibit, pupuk, dan cara tanam yang mulai mengadopsi asing.
Kearifan lokal yang diperoleh dari nenek moyang mulai ditinggalkan, karena musim yang berubah-ubah setiap tahunnya dan susah ditebak. Namun begitu, masih ada petani yang menggunakan pranata mangsa.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.