JAKARTA, KOMPAS.TV - Meski FIFA dari awal turnamen mengingatkan agar fokus di sepak bola, tetapi bentrok Iran vs Amerika Serikat (AS) di laga terakhir Grup B Piala Dunia 2022 mau tidak mau tetap dipenuhi ketegangan politik antara kedua negara.
Seperti yang diketahui, hubungan Iran dan AS memburuk sejak tahun 1979. AS menuduh Iran menjalankan aksi terorisme di negara mereka, sementara Iran menganggap AS sengaja menembakkan misil pada pesawat komersial yang membawa masyarakat sipil pada 1988.
Tahun ini, ketegangan disebut lebih tinggi saat Iran dan AS bertemu pertama kali di Piala Dunia 1998.
Protes nasional Iran, program nuklirnya yang meluas dan serangan regional dan internasional yang terhubung ke Teheran telah mendorong pertandingan di dalam stadion menuju ke geopolitik.
Pada pertandingan 24 tahun silam di Lyon, Prancis, Iran berhasil menang atas AS dengan skor 2-1.
Usai kemenangan tersebut, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei memuji tim Iran, dengan mengatakan "lawan yang kuat dan sombong merasakan pahitnya kekalahan".
Tetapi di sisi lain, Presiden Iran saat itu, Mohammad Khatami, berusaha meningkatkan hubungan dengan Barat dan dunia yang lebih luas.
Baca Juga: Prediksi Iran vs Amerika Serikat di Piala Dunia 2022: Head to Head dan Prakiraan Line Up
Di dalam negeri, Khatami mendorong apa yang disebut kebijakan "reformis", berusaha meliberalisasi aspek teokrasi sambil mempertahankan strukturnya dengan pemimpin tertinggi di puncak.
Presiden AS Bill Clinton dan pemerintahannya berharap pemilihan Khatami bisa menjadi awal cairnya hubungan antar-kedua negara.
Pada pertandingan di Piala Dunia 1998 itu, pemain dari kedua negara berfoto bersama dan saling bertukar cendera mata seperti bunga dan emblem tim serta jersey. Melihat kedua tim bisa saling bersama, sempat dilakukan pula pertandingan persahabatan yang digelar di Pasadena, California.
Akan tetapi 24 tahun berselang, hubungan kedua negara tidak membaik, dan bahkan mungkin lebih tegang dari sebelumnya.
Dilansir dari Associated Press, Iran sekarang diperintah sepenuhnya oleh garis keras setelah pemilihan Presiden Ebrahim Raisi, anak didik Khamenei, yang ikut serta dalam eksekusi massal ribuan tahanan politik tahun 1988 pada akhir perang Iran-Irak.
Selain itu, ada pula permasalahan terkait nuklir, di mana Teheran sekarang disebut memperkaya uranium hingga kemurnian 60 persen yang menurut pakar cukup untuk membuat setidaknya satu bom nuklir. Pun, masalah bantuan drone Iran untuk Rusia menggempur Ukraina, hingga protes massal setelah kematian Mahsa Amini pada 16 September, seorang perempuan berusia 22 tahun yang sebelumnya ditahan oleh polisi moralitas negara itu.
Sejak protes meletus, menurut aktivis hak asasi manusia di Iran, setidaknya 451 orang tewas serta lebih dari 18.000 ditangkap.
Baca Juga: Jenderal Iran Akui Lebih dari 300 Orang Tewas dalam Kerusuhan Imbas Demo Kematian Mahsa Amini
Usai kemenangan 2-0 Iran atas Wales, polisi anti-huru-hara di Teheran mengibarkan bendera Iran di jalan yang membuat para demonstran marah.
Khamenei sendiri mengakui kemenangan itu “menimbulkan kegembiraan di negara ini.” Namun, pemimpin tertinggi memperingatkan bahwa “saat Piala Dunia berlangsung, semua mata tertuju pada itu. Lawan biasanya memanfaatkan momen lemah ini untuk bertindak.”
Saat demonstrasi semakin intensif, Iran menuduh tanpa memberikan bukti bahwa musuh-musuhnya di luar negeri, termasuk AS, mengobarkan kerusuhan.
Di Piala Dunia 2022, ketegangan telah menyebar di sekitar stadion: para demonstran pro dan anti-pemerintah saling berteriak satu sama lain menyuarakan kebenarannya masing-masing.
Keadaan semakin memanas setelah Federasi Sepak Bola AS menghapus lambang Republik Islam dari bendera Iran di unggahan media sosial sebagai bentuk dukungan kepada para demonstran.
Meski unggahan telah dihapus dan diunggah ulang dengan lambang Republik Islam, namun Federasi Sepak Bola Iran meminta FIFA untuk menjatuhkan hukuman kepada AS karena "menyinggung martabat" negara mereka.
Baca Juga: Jelang Iran vs Amerika, Bau Politik Mulai Tercium: AS Ubah Bendera Iran dan Memajangnya di Medsos
Belum diketahui apakah bakal ada pejabat dari kedua negara yang akan menghadiri laga Iran vs AS tersebut.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyempatkan waktu untuk menonton pertandingan AS melawan Wales di pertandingan pertama.
Meski begitu, ada sejumlah pihak yang berniat menyaksikan laga Iran vs AS secara langsung, salah satunya mantan juru bicara Departemen Luar Negeri AS di era Donald Trump, Morgan Ortagus, yang punya tujuannya sendiri.
“Itu salah satu momen penting ketika geopolitik dan olahraga bertabrakan,” kata Ortagus.
“Anda melihat tim Iran melakukan apa yang mereka bisa untuk membela para pengunjuk rasa dan orang-orang yang berdemonstrasi secara damai," ucapnya.
Baca Juga: Jadwal Piala Dunia 2022 Hari Ini: Duel Iran vs AS, Belanda vs Qatar, dan Wales vs Inggris
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.