Severity: Notice
Message: Undefined property: stdClass::$iframe
Filename: libraries/Article_lib.php
Line Number: 241
Backtrace:
File: /var/www/html/frontendv2/application/libraries/Article_lib.php
Line: 241
Function: _error_handler
File: /var/www/html/frontendv2/application/controllers/Read.php
Line: 85
Function: gen_content_article
File: /var/www/html/frontendv2/index.php
Line: 314
Function: require_once
JAKARTA, KOMPAS TV - Presiden Joko Widodo resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
Aturan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai langkah Presiden Jokowi yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.
Baca Juga: Jokowi Kembali Naikkan Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Corona, Ini Rinciannya
"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," kata Feri seperti dikutip Kompas.com, Rabu (13/5/2020).
Jokowi diketahui menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, pada akhir Februari 2020 MA membatalkan kenaikan tersebut.
Karena telah diputuskan, maka Feri menilai, putusan MA tersebut bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden.
Hal itu tertuang dalam Undang-undang tentang MA dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman.
Baca Juga: Ketika Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Hanya Berlaku 3 Bulan
"Pasal 31 UU MA menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya dia tidak dapat digunakan lagi, termasuk tidak boleh dibuat lagi," ujar Feri.
Feri mengatakan bahwa putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 itu pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan.
Oleh karena itu, Feri menegaskan, langkah presiden menaikkan iuran BPJS Kesehatan tetap tidak dapat dibenarkan, sekalipun nominal iuran yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 sedikit berbeda dengan aturan sebelumnya,.
"Seberapapun jumlah (kenaikan iuran)-nya, maka tidak benar kenaikan (iuran) BPJS," ujar Feri.
Baca Juga: Mulai 1 Juli Iuran BPJS Kesehatan Resmi Berubah: Berikut Rincian Biaya Kelas I, II, dan III
Justru, Feri menilai, Jokowi sengaja membuat bunyi Perpres Nomor 64 Tahun 2020 sedikit berbeda dari Perpres sebelumnya.
Ini merupakan sebagai dalih agar Perpres ini tidak dinilai bertentangan dengan putusan MA. Padahal, hal itu merupakan upaya penyelundupan hukum.
"Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," kata Feri.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan alasan pemerintah menaikkan iuran untuk menjaga keberlangsungan BPJS Kesehatan. Pasalnya, saat ini BPJS Kesehatan memiliki masalah keuangan cukup besar.
"Tentunya ini adalah utuk menjaga keberlanjutan dari BPJS kesehatan," ujar Airlangga.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Kenaikan ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Resmi Berubah Mulai 1 Juli, Peserta Kelas III Hanya Bayar Rp25.500 Per Bulan
Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020). Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.
Adapun rinciannya iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000 dari sebelumnya Rp80.000. Kemudian, iuran peserta mandiri kelas II meningkat jadi Rp100.000 dari Rp 51.000.
Terakhir, iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp16.500, sehingga yang dibayarkan peserta tetap Rp25.500 selama 2020.
Namun, pada 2021 mendatang subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta jadi Rp 35.000.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.