JAKARTA, KOMPAS.TV- Tanpa berfikir panjang lagi, advokat Yap Thiam Hien bersedia menjadi pembela terdakwa kasus peledakan bom gedung bank BCA di Tanjung Priok dan Jalan Sudirman Jakarta pada 1984 silam.
Padahal, bank itu milik konglomerat Sudono Salim yang punya hubungan dekat dengan kekuasaan Orde Baru. Ditambah, Sudono Salim alias Liem Sioe Liong sama seperti Yap, dari etnis Tionghoa. Padahal banyak yang berfikir, kasus peledakan bom itu didasari kebencian rasial.
"Akan tetapi Yap rupanya tidak berfikir demikian. Mungkin ia merasa bahwa mereka itu orang-orang tertindas dan harus mendapatkan pembelaan, tanpa menghiraukan latar belakang politik orang-orang itu," kata Junus Jahja dalam bukunya 'Peranakan Idealis' (penerbit Kepustakaan Populer Gramedia).
Para pelaku pengeboman bisa saja sedang berhadapan dengan kekuasan yang sangat kuat. Apalagi peristiwa itu tak lama setelah kerusuhan Tanjung Priok. Namun yang pasti, Yap adalah advokat yang berpegang pada prinsip asas praduga tak bersalah.
Baca Juga: Ketika Budaya Jawa dan Tionghoa Bertemu di Karnaval Budaya Grebeg Sudiro Solo
Soal keteguhan dalam memegang prinsip keadilan dalam membela kaum papa, banyak saksi yang melihat. Almarhum Mochtar Lubis, wartawan senior kawan Yap, pernah mendengar langsung pernyataan Yap saat mendampingi kliennya: “Apa yang hendak Saudara capai di pengadilan? Hendak menang perkara atau hendak meletakkan kebenaran Saudara di ruang pengadilan dan masyarakat? Jika Saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara Anda, karena pasti kita akan kalah. Tetapi Anda merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya menjadi pembela Saudara,” kata Yap ditirukan Mochtar.
Yap memang tak pandang bulu dalam memandang orang yang harus dibela, termasuk Subandrio, yang dituding terlibat dalam gerakan G30S/PKI di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Bagi lelaki kelahiran Banda Aceh 25 Mei 1913 silam ini, sikap teguhnya tak pelak menyentuh kekuasaan.
Dia khawatir kekuasaana yang berlebihan akan meruntuhkan kepastian hukum. Pada 1973 dia menulis: "Bilamana kekuasaan merajalela hampir tanpa batas, pada galibnya kepastian hukum akan lenyap dan rasa ketakutan mulai tertanam," katanya.
Dalam kecenderungan kekuasaan yang merajalela itulah, Yap sejak awal sudah sadar mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Dan ketika kekuasaan tak terkontrol, kata Yap, maka dampak negatif yang paling merasakan adalah lapisan masyarakat terbawah, powerless and voiceless.
Di sisi lain, Yap juga penentang pergantian nama Tionghoa menjadi nama pribumi yang lazim dilakukan di masa Orde Lama 1967. Ganti nama kala itu, dianggap sebagai identifikasi diri dengan bangsa Indonesia. Namun bagi Yap hal itu tak berguna sama sekali.
"Ganti nama hanya berguna bagi orang-orang yang ingin mencapai maksud pribadi yang egois; untuk menyelamatkan posisi, perdagangan, jaminan masuk sekolah/universitas dan jaminan bagi hari depan," katanya.
Kritiknya yang keras itu seringkali menyinggung banyak kalangan. Dia bahkan pernah dituduh antipribumi dan terlalu teguh memegang tradisi Tionghoa. Namun Yap bukan orang yang demikian. Dia hanya ingin menegaskan, bahwa terdapat kebencian rasialis terhadap orang asing, khususnya terhadap Tionghoa.
Ia pun menegaskan, perubahan nama tidak akan memuaskan para rasialis ataupun memberikan kebahagiaan bagi orang Indonesia yang sadar dan rasional.
Baca Juga: Konferensi ACCA ke-11, Memperkuat Peran Komunitas Tionghoa Hadapi Tantangan Global
Pembelaannya terhadap masyarakat bawah diwujudkan dalam pendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama sejumlah tokoh kala itu. YLBHI sebuah yayasan yang memberikan bantuan hukum dan memperjuangkan hak korban pelanggaran HAM, rakyat miskin dan buta hukum.
Dilansir dari arsip Kompas, atas kiprahnya tersebut, Yap dinilai berani membangkitkan semangat wong cilik untuk berjuang melawan ketidakadilan.
Ia meninggal dunia pada 25 April 1989 di Brussel, Belgia, tepatnya di usia 75 tahun.Yap tutup usia dalam perjalanan tugas menghadiri Konferensi Internasional Lembaga Donor untuk Indonesia.
Namanya telah diabadikan sebagai penghargaan bagi para aktivis yang mengabdikan hidupnya untuk masyarakat kecil, kaum tertindas, dan penegakan HAM, yaitu Yap Thiam Hien Awards.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.