Dengan kata lain, terminologi OTT yang digunakan KPK sama dengan keadaan tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Sehingga, menurutnya, jika Johanis hendak menghapus OTT sebagai sebuah strategi dalam pemberantasan korupsi, hal itu justru merupakan bentuk untuk melemahkan kinerja KPK.
Sebab itu, ICW pun mendesak anggota DPR untuk tidak memilih calon pimpinan KPK berdasarkan selera subjektif hanya kerena calon yang diuji hendak menghapus OTT.
Pasalnya, lanjut Dicky, hal tersebut bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Diberitakan sebelumnya, pernyataan Johanis Tanak terkait ingin menghapus OTT disampaikan saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Jakarta, Selasa (19/11).
"Seandainya bisa jadi (Ketua KPK), mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, close. Karena itu tidak sesuai pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," kata Johanis.
Wakil Ketua KPK itu menjelaskan, alasan dirinya ingin meniadakan OTT, karena penerapan OTT lembaga antirasuah saat ini tidak tepat.
Menurut penuturannya, operasi itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dicontohkan adalah seorang dokter, yang akan melakukan operasi. Tentunya semua sudah siap dan telah direncanakan.
"Sementara pengertian tertangkap tangan menurut KUHAP adalah suatu peristiwa yang terjadinya seketika itu juga pelakunya ditangkap. Dan pelakunya langsung menjadi tersangka," jelasnya.
"Terus, kalau seketika pelakunya melakukan perbuatan dan ditangkap, tentunya tidak ada perencanaan. Nah kalau ada suatu perencanaan operasi itu, terencana, satu dikatakan suatu peristiwa itu ditangkap, ini suatu tumpang tindih. Itu tidak tepat," sambungnya.
Baca Juga: Capim KPK Agus Joko Pramono Dapat Sinyal Positif dari Benny K Harman: Mudah-mudahan Jadi
Sumber : Kompas TV/Tribunnews.
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.