JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat politik Pieter C Zulkifli mempertanyakan efektivitas dan efisiensi Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto.
Menurut dia, jumlah 48 menteri dan 56 wakil menteri itu terlalu besar atau gemuk. Ia pun menilai hal ini sebagai bentuk politik transaksional atau politik balas budi.
"Koalisi besar yang dibentuk untuk meraih kemenangan dalam pemilu biasanya harus 'dibayar' dengan bagi-bagi kursi menteri kepada partai-partai pendukung. Apakah benar ini solusi efektif?" kata Pieter dalam keterangannya, Rabu (23/10/2024).
"Sejarah menunjukkan bahwa kinerja kabinet yang besar bisa memperlambat pengambilan keputusan karena setiap kebijakan harus melewati banyak lapisan kepentingan."
Baca Juga: Prabowo Gelar Sidang Kabinet Paripurna Perdana, Temanya Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas
Pieter berpandangan pembentukan kabinet gemuk itu terkesan setengah hati. Sebab, posisi-posisi strategis yang seharusnya tidak boleh menjadi alat kompromi politik justru diisi oleh figur-figur yang diragukan kredibilitas dan integritasnya.
Padahal, jabatan-jabatan strategis semestinya dipegang oleh orang-orang yang berintegritas dan setia kepada bangsa.
Dia membandingkan kabinet gemuk Prabowo dengan kabinet Kanada di bawah Perdana Menteri Justin Trudeau pada 2015 yang sering dipuji sebagai salah satu kabinet terbaik di dunia karena diisi oleh figur-figur kompeten. Setiap kementerian dipimpin oleh tokoh yang ahli di bidangnya.
Salah satu contohnya, Menteri Kesehatan yang dijabat oleh seorang dokter dengan pengalaman belasan tahun di Afrika. Lalu, Menteri Transportasi diisi seorang astronaut.
"Bandingkan dengan Indonesia, di mana jabatan menteri masih sering menjadi alat politik balas budi. Jika kabinet Prabowo-Gibran ingin sukses, mereka harus belajar dari pengalaman tersebut, dengan menempatkan orang-orang yang benar-benar kompeten dan tidak hanya memenuhi tuntutan politik," kata mantan Ketua Komisi III DPR RI tersebut.
Selain itu, kata dia, pembentukan kabinet gemuk ini membuat ambisi Presiden Prabowo di tengah situasi dan kondisi geopolitik global, kian tidak menentu. Padahal, hal tersebut menjadi salah satu tantangan besar bagi pemerintahan baru.
Baca Juga: Golkar Akan Lakukan PAW Kader yang Masuk Kabinet Merah Putih
"Ketika ketegangan antarnegara meningkat, perekonomian global pun terguncang, berdampak pada sektor-sektor vital di Indonesia, mulai lembaga keuangan, tekstil hingga manufaktur, dan masih banyak lagi kegiatan industri nasional merasakan dampak deflasi. Dalam situasi seperti ini, kabinet yang efektif harus memiliki arah kebijakan yang jelas dan cepat tanggap terhadap krisis," kata dia.
Pieter menyebut kabinet yang besar berisiko terjebak dalam tarik ulur kepentingan. Menurut dia, dengan jumlah kementerian yang lebih banyak, keputusan yang harusnya bisa diambil cepat malah bisa terhambat.
"Belum lagi permasalahan klasik seperti korupsi dan kinerja yang tidak jujur kerap menggerogoti sistem birokrasi pemerintahan," ujarnya.
Ia menambahkan, Gibran Rabuming Raka sebagai Wakil Presiden juga harus menunjukkan kinerjanya kepada publik.
Dia mengatakan Gibran dikenal karena gaya kepemimpinan praktis dan keberpihakan pada pembangunan daerah yang dia tunjukkan selama menjabat sebagai Wali Kota Solo.
"Sebagai bagian dari kabinet yang besar, dia harus mampu menjaga semangat kerja kolektif, menghindari konflik internal, dan tetap fokus pada visi besar yang dijanjikan mereka dalam kampanye."
Baca Juga: Prabowo Beri Luhut 2 Jabatan Penting di Kabinet Merah Putih
"Banyak yang menantikan apakah Gibran mampu mengatasi kebiasaan lama dalam politik Indonesia yang sering kali lebih mementingkan status quo daripada inovasi dan perubahan nyata," kata Pieter.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.