JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara (Jakut) oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) tahun 2019-2020.
Hal itu disampaikan Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (18/9/2024).
"Setelah adanya kecukupan bukti permulaan pada proses penyidikan, KPK menetapkan dan mengumumkan 5 orang sebagai tersangka,” kata Asep, dipantau dari kanal YouTube KPK RI.
Kelima tersangka tersebut yaitu mantan Direktur Utama PPSJ Yoory Corneles Pinontoan (YCP); Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur PPSJ Indra S. Arharrys (ISA); Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada (TEP) Donald Sihombing (DNS).
Kemudian Komisaris PT TEP Saut Irianto Rajagukguk (SIR); dan Direktur Keuangan PT TEP Eko Wardoyo (EKW).
KPK, lanjut Asep, melakukan penahanan terhadap para tersangka untuk 20 hari ke depan, terhitung sejak hari ini, Rabu,18 September 2024 sampai 7 Oktober 2024.
"Penahanan akan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih," ujarnya.
Konstruksi Perkara
Asep menjelaskan, PPSJ adalah sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi DKI Jakarta yang bergerak di bidang properti tanah dan bangunan.
Salah satu perusahaan yang menawarkan tanah kepada PPSJ adalah PT PT Totalindo Eka Persada (TEP) yang bergerak di bidang jasa konstruksi pembangunan high rise building (antara lain apartemen, mal, dan kantor-kantor) serta kegiatan penjualan tanah.
"PT TEP dimiliki oleh saudara DNS yang merangkap juga sebagai Direktur Utama. Sedangkan Direktur Independen/Keuangan dijabat saudara EKW dan terdapat juga Komisaris PT TEP dijabat oleh SIR," kata Asep.
Ia melanjutkan, sekitar Februari 2019, PT TEP berencana membeli enam bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (NKRE) di Rorotan. Luas tanah yang akan dibeli sekitar 11,7 Ha seharga Rp950 ribu/m2.
"Yang akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai transaksi totalnya Rp117 miliar," ucapnya.
Baca Juga: KPK Periksa 2 Saksi Dugaan Korupsi Pengadaan Lahan di Rorotan oleh Perumda Sarana Jaya
Kemudian pada 18 Februari 2019, PT TEP mengirimkan surat tentang kerja sama pengelolaan lahan seluas 11,7 Ha yang berlokasi di Jalan Rorotan Marunda, Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakut dengan harga penawaran Rp3,2 juta/m2.
"Ini menggunakan skema KSO (Kerja Sama Operasional), ya ini dengan PPSJ," ujarnya.
Hal itu kemudian direspons oleh saudara YCP selaku Direktur Utama PPSJ dengan mengirimkan Surat Kepeminatan atas penawaran tanah tersebut.
Selanjutnya pada 1 Maret 2019, kata Asep, dilakukan rapat negosiasi harga antara PT TEP dengan PPSJ atas tanah tersebut yang dihadiri oleh YCP dan DNS.
Dalam rapat tersebut, keduanya menyepakati besaran harga tanah yang akan dilakukan KSO adalah Rp3 juta/m2.
Saat itu, PPSJ belum menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah. Selain itu, PPSJ belum melakukan kajian internal terkait penawaran KSO dari PT TEP.
"Selanjutnya, YCP dan ISA mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan ditawarkan oleh PT TEP sebetulnya jauh di bawah harga penawaran PT TEP yakni di bawah Rp2 juta/m2," jelasnya.
"Informasi harga wajar sesuai analisis internal dan informasi dari KJPP Wisnu Junaidi telah disampaikan oleh FMA (Farouk M Arzby) kepada YCP, namun YCP mengabaikan hal tersebut," imbuhnya.
Asep menambahkan, YCP bahkan mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk melakukan penilaian harga wajar tanah, namun cukup menggunakan laporan penilaian KJPP yang ditunjuk/ditugaskan oleh penjual/PT TEP.
Menurut Asep, hal itu bertentangan dengan Pergub DKI Nomor 50 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMD dan Pergub DKI Nomor 51 Tahun 2019 tentang Penugasan kepada BUMD terkait Penyediaan Rumah untuk MBR.
Baca Juga: Respons Kaesang Klarifikasi Jet ke KPK, Jokowi: Semua Warga Negara Sama di Mata Hukum
"Pada 6 Maret 2019, YCP dan DNS melakukan penandatanganan Perjanjian Pendahuluan tentang Perjanjian KSO Proyek Tanah Rorotan antara PPSJ dengan PT TEP," tegasnya.
"Dalam surat perjanjian tersebut, PT TEP mengaku sebagai pemilik sah dan berhak sepenuhnya atas enam bidang tanah seluas 11,7 Ha. Padahal, PT TEP mengetahui saat itu keenam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT TEP," sambungnya.
Asep mengatakan pada periode awal Maret 2019, PPSJ membayar kepada PT TEP uang muka dengan nilai total sebesar Rp30 miliar atas Perjanjian KSO ini.
Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewan Pengawas PPSJ, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP kepada PPSJ.
"Saudara YCP kemudian memerintahkan agar transaksi tersebut diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PPSJ," ungkapnya.
"Pembayaran uang muka Tahap 1 KSO sebesar Rp20.000.000.000 pada 6 Maret 2019 dan pelunasan tahap I sebesar Rp10.000.000.000 pada 8 Maret 2019 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Asep.
Pada akhir bulan Maret 2019, YCP dan DNS melakukan penandatanganan enam Akta PPJB atas enam bidang tanah Rorotan antara PPSJ dan PT TEP
Asep menyebut PPSJ juga membayar uang muka pembelian tanah kepada PT TEP sebesar Rp150 miliar walaupun saat itu PT TEP belum melunasi kewajiban pembayaran tanah kepada PT NKRE.
Baca Juga: Update Kasus Suap Dana Hibah Jatim: KPK Periksa 14 Saksi
Kemudian pada periode April-September 2019, PPSJ telah melakukan beberapa kali pembayaran senilai Rp201 miliar kepada PT TEP.
Dengan demikian, total pembayaran untuk tanah seluas 11,7 Ha dari PPSJ kepada PT TEP Rp351 miliar.
Pada 22 Februari 2021, PPSJ melakukan pelunasan atas penambahan luas tanah Rorotan dengan membayar Rp14 miliar kepada PT TEP, sehingga total uang pembayaran yang telah dikeluarkan PPSJ kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 Ha (11,7 Ha luas awal ditambah 0,6 Ha penambahan luas pasca pengukuran ulang) adalah Rp370 miliar.
"Pada 23 Februari 2021, baru dilakukan penandatanganan enam AJB antara PT TEP dengan PPSJ untuk jual beli tanah Rorotan, seluas total 12,3 Ha," jelasnya.
Selanjutnya, kata Asep, YCP menentukan lokasi lahan Rorotan yang akan dibeli secara sepihak tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif meskipun kondisi lahan berawa dan membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar.
Selain itu, kondisi lahan tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 3 Pergub DKI Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pembangunan Rusuna.
"Penentuan beli putus untuk beli tanah oleh YCP tadi tanpa melalui kajian," kata Asep.
Ia menyebut memo intern penyampaian laporan penilaian atas penawaran lokasi Jalan Rorotan-Marunda 11,7 Ha dibuat bertanggal mundur (backdate) oleh pegawai PPSJ atas perintah YCP.
"Memo intern bertanggal 21 Februari 2019 yang merupakan memo penyampaian laporan gabungan kajian evaluasi proposal penawaran dan hasil survei fisik, kajian analisa pasar pesaing, dan kajian analisa finansial/hitungan kelayakan, secara aktual baru dibuat 27 Maret oleh Maulina Wulansari, " jelasnya.
Penanggalan mundur tersebut, lanjutnya, diduga untuk menjustifikasi atau mendukung keputusan sepihak dan subjektif YCP dalam pembelian tanah dan mengesankan seolah-olah proses investasi atau pengadaan berjalan sesuai prosedur atau ketentuan yang berlaku.
Penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan lahan Jalan Rorotan-Marunda 11,7 Ha yang dilakukan YCP diduga dipengaruhi dan terkait penerimaan fasilitas dari PT TEP.
"YCP diduga menerima valas dalam denominasi SGD sejumlah Rp3 miliar dari PT TTEP. Selain itu, saudara YCP juga diketahui mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT TEP," ujar Asep.
"Pembelian aset YCP berupa 1 rumah dan 1 unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi EKW dan sumber dana berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut," sambungnya.
Asep mengatakan terdapat kerugian negara/daerah setidaknya sebesar Rp223 miliar atau tepatnya Rp223.852.761.192 yang diakibatkan penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada tahun 2019-2021.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.