JAKARTA, KOMPAS.TV - Di awal kemerdekaan, kondisi pemerintahan masih morat-marit. Ekonomi belum stabil dan kehidupan sosial masih morat marit.
Memburuknya kondisi sosial ekonomi ini terlihat dari peningkatan penyakit kelamin sifilis yang banyak melanda anak muda hingga ibu-ibu di awal kemerdekaan setelah revolusi fisik.
Pada tahun 1952, Menteri Kesehatan Soetopo, pada Kabinet Abdul Halim (Januari-September), melakukan penelitian penyakit kelamin ini yang tiba-tiba melonjak.
Dalam paparannya pada Hari Kesehatan Dunia 7 April 1953, Soetopo menjelaskan bahwa setelah Revolusi Nasional Indonesia, norma-norma sosial ambruk. "Para pemuda masa itu menuntut kebebasan tanpa batas, khususnya sehubungan dengan melonggarnya adat istiadat seksual," demikian dalam paparannya dalam buku Memelihara Jiwa-Raga Bangsa karya Viviek Neelakantan (penerbit Kompas).
Baca Juga: Atasi Penyakit Kelamin Kaum Gay dan Biseksual, Aparat Kesehatan AS akan Usulkan Antibiotik Murah Ini
Soetopo menjelaskan bahwa prostitusi berkontribusi pada penyebaran penyakit kotor itu.
"Di dalam menghadapi perobahan-perobahan yang datangnya kadang-kadang secepat kilat, pada umumnya kaum muda itu-karena mudanya-belum mempunyai persiapan yang cukup dan belum mempunyai pegangan hidup yang dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk menempatkan dirinya dalam masyarakat," kata Soetopo yang juga pendiri The Venereal Disease Institut (Lembaga Penyakit Kelamin) di Surabaya, Jawa Timur, itu.
Bahkan, penyakit kelamin itu sudah menyebar pada anak-anak usia 14 tahun. Soetopo menyebut persebaran penyakit sifilis kala itu sebagai "krisis moral".
Dia berpendapat bahwa sifilis adalah indikator masalah sosial ekonomi yang lebih besar seperti ketidakamanan ekonomi, kurangnya perumahan yang layak, rekreasi yang tidak sehat, perawatan medis tidak memadai, keluarga berantakan dan dukungan sosial yang tidak memadai.
Karena itu, dia menganjurkan untuk mengatasi penyebab sosial yang mendorong penyebaran penyakit kelamin ini.
Walaupun, saat itu sudah ada obatnya yaitu arsenicals dan penisilin. Namun cenderung sulit karena stigma sosial.
Baca Juga: Pameran Revolusi Kemerdekaan dari Kacamata Indonesia, Digelar Museum Nasional Belanda Rijksmuseum
Para sejarawan mencatat bahwa periode tahun 1950-an adalah saksi meningkatnya ketegangan antara partai-partai politik, munculnya pertikaian politik dan maraknya korupsi. Pemerintahan tidak stabil yang berdampak pada kesejahteraan rakyat yang tidak diperhatikan. "Tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia ditandai oleh rasa krisis permanen yang disebabkan oleh ketidakstabilan politik," tulis Viviek Neelakantan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.