JAKARTA, KOMPAS.TV - Amnesty International Indonesia menyebut Pemilu 2024 harus menjadi momentum penting untuk memilih pemimpin baru dan menghentikan praktik impunitas kasus HAM.
Menurut Amnesty International Indonesia, pemerintahan saat ini tak kunjung membuktikan komitmen untuk memastikan akuntabilitas serta memberikan keadilan kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat.
Sebaliknya, kata Amnesty, pemerintah selama ini justru terus melanggengkan impunitas, bahkan membiarkan terduga pelaku pelanggaran HAM berat menempati jabatan-jabatan publik dan berada di lingkaran kekuasaan.
Juru kampanye Amnesty International Indonesia, Zaky Yamani, mengatakan pemimpin yang terpilih dari hasil pemilu pada 14 Februari 2024, harus melakukan investigasi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Baca Juga: Antropolog Suarakan Kritik Atas Kondisi Demokrasi Jelang Pemilu 2024: Jokowi Harus Jadi Teladan
Hal itu disampaikannya dalam diskusi publik “Roadshow Menolak Lupa Kasus Pelanggaran Berat HAM” di Bandung, Rabu (7/2/2024), yang dihadiri para pegiat HAM, organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan kalangan jurnalis.
Zaky mengatakan diskusi ini bertepatan dengan peringatan 35 tahun kasus pelanggaran HAM berat Tragedi Talangsari.
Selain diskusi publik, acara roadshow ini juga menampilkan pemutaran film “Munir: Sebuah Extrajudicial Killing” dan pertunjukan seni.
“Pemimpin yang terpilih harus melakukan investigasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat seperti Tragedi Talangsari dan semua pelanggaran HAM lainnya secara menyeluruh, independen, dan imparsial," kata Zaky, dikutip dari siaran pers yang diterima Kompas.tv, Jumat (9/2/2024).
"Pelaku harus diadili di pengadilan yang adil tanpa hukuman mati. Impunitas yang terus dipelihara merusak kepercayaan publik dan menandakan tindakan semacam itu bisa dilakukan tanpa konsekuensi.”
Zaky lalu bercerita mengenai Tragedi Talangsari. Ia mengatakan, pada 7 Februari 1989, aparat militer melancarkan serangan di kampung Cihideung, Talangsari, Provinsi Lampung, terhadap sekelompok komunitas Islam – Jemaah Warsidi – yang dituduh oleh pihak berwenang saat itu ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.
Baca Juga: Orasi Yenny Wahid saat Kampanye Ganjar-Mahfud di Bogor: Nyanyikan Yel-Yel Soal Bansos
Tragedi itu menewaskan sedikitnya 130 orang, paling sedikit 53 orang ditahan secara semena-mena dan mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya. Setidaknya terdapat 77 orang yang diusir paksa dari kampungnya.
“Hingga kini Tragedi Talangsari tidak pernah diusut tuntas walau kasus itu diakui sebagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi)," ungkap Zaky.
"Ini menandakan negara masih tidak serius memastikan keadilan, kebenaran, dan reparasi penuh kepada para korban pelanggaran HAM berat."
Suciwati, istri mendiang aktivis HAM, Munir Said Thalib, mengatakan budaya impunitas masih dipelihara oleh pemerintah.
Menurutnya, itulah yang menyebabkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih belum bisa dituntaskan dan pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab tetap melenggang bebas.
“Pemerintah tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM secara signifikan. Mereka hanya punya niat ingin menyelesaikan tetapi tidak pernah melaksanakannya,” tutur Suciwati yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.
Dia mencontohkan kasus pembunuhan Munir 2004, hingga kini tidak pernah diusut tuntas oleh pemerintah, bahkan dokumen resmi Tim Pencari Fakta (TPF) atas hasil penyelidikan kasus Munir, malah hilang setelah diserahkan kepada pemerintah.
Baca Juga: Kampanye Akbar Partai Nasdem Terus Serukan Misi Perubahan
Suciwati pun mengutarakan kekecewaannya kepada pemerintahan Jokowi yang dulu berjanji untuk mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
“Dia pernah mengatakan akan menyelesaikan kasus A, B, C, D, termasuk kasus Munir, akan panggil Jaksa Agung untuk mengusut. Tapi tidak ada hasilnya. Malah mengangkat orang-orang yang terlibat kasus pelanggaran HAM," katanya.
Adapun Ardi Manto, peneliti dari Imparsial menegaskan, dalam sepuluh tahun terakhir, negara telah mengabaikan kasus-kasus pelanggaran HAM secara sistematis.
Pengabaian ini, lanjut Ardi, memberi ruang dan kesempatan kepada terduga pelanggar HAM untuk melenggang bebas, terlihat pada upaya negara mencuci dosa-dosa kejahatan HAM.
Ardi menjelaskan, salah satu contoh upaya negara mencuci dosa-dosa kejahatan HAM adalah dengan pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang dipandang melanggengkan impunitas.
“TPPHAM non yudisial ini upaya untuk mencuci terduga pelanggar HAM tanpa dibebani tuduhan pelanggaran HAM. Kami sudah sering ingatkan hal ini. Prinsip non yudisial harus seiring sejalan dengan proses yudisial dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat,” kata Ardi yang turut menjadi pembicara.
Baca Juga: Bawaslu Papua Barat Komitmen Tegas Saat Lakukan Pengawasan di Masa Tenang
Sementara Ressy Utari, pegiat Aksi Kamisan Bandung, menyatakan dampak impunitas yang terus terjadi pada kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, dirasakan hingga kini. Sehingga pelanggaran-pelanggaran HAM masih tetap terjadi.
“Efek-efek dari kasus HAM masa lalu itu masih ada, dan masih kita rasakan saat ini. Mulai dari tragedi 1965 lalu berlanjut ke kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, termasuk Tragedi Talangsari dan Pembunuhan Munir. Pengusutan kasus-kasus itu mengalami kemunduran dan kita sekarang juga mendapat akibatnya dari pelanggaran-pelanggaran itu,” kata Ressy.
Maka dia berharap kaum muda seperti dirinya tetap merawat ingatan akan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut, baik dengan mengikuti Aksi Kamisan maupun diskusi-diskusi publik.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.