JAKARTA, KOMPAS.TV - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendesak aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman maksimal kepada anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang menganiaya pacar hingga meninggal dunia, Gregorius Ronald Tannur.
Kemen PPPA menilai pelaku kekerasan terhadap perempuan berinisial DSA hingga berujung meninggal dunia di Surabaya, Jawa Timur itu sengaja melakukan perbuatannya.
"Kami mendorong aparat penegak hukum agar dapat menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku karena telah dengan sengaja melakukan kekerasan hingga menyebabkan kematian pada korban," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati, Jakarta, Senin (9/10/2023).
Ratna menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses hukum kasus ini sehingga pelaku dijatuhi hukuman maksimal.
"Kementerian PPPA mengecam keras tindakan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa perempuan. Kami juga menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas meninggalnya korban perempuan DSA di Surabaya, yang meninggal karena tindakan kekerasan oleh pasangannya," kata Ratna, dilansir dari Antara.
Baca Juga: Anak Anggota DPR Penganiaya Pacar hingga Tewas Dinilai Patut Dijerat Pasal Pembunuhan Berencana
Ia lantas mengapresiasi penyidik Polrestabes Surabaya yang telah bergerak cepat dalam penyelidikan dan penyidikan serta memproses lebih lanjut sehingga pelaku segera ditetapkan sebagai tersangka.
Gregorius pun dijerat dengan Pasal 351 Ayat 3 atau Pasal 359 KUHP, dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.
Sebelumnya Polrestabes Surabaya menetapkan Gregorius Ronald Tannur (31), anak anggota DPR RI Edward Tannur, sebagai tersangka kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian.
Di sisi lain, pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyebut, tersangka layak dijerat dengan pasal pembunuhan berencana, yakni Pasal 338 KUHP.
Menurut Reza, Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan Pasal 338 KUHP terhadap Gregorius yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian DSA.
Reza mengamati, rangkaian kronologi perilaku kekerasan yang dilakukan GRT kepada korban DSA sangat bengis dan bereskalasi.
"Dari sebatas tangan kosong ke penggunaan alat yang tidak perlu dimanipulasi (botol), dan berlanjut ke penggunaan alat yang perlu dimanipulasi (mobil)," kata Reza, Sabtu (7/10/2023).
Reza menilai, eskalasi kekerasan sedemikian rupa, ditambah lagi karena tidak ada yang meleset dari organ vital korban serta terdapat jeda antara menabrak dan episode kekerasan sebelumnya, mengindikasikan GRT sebenarnya berada dalam tingkat kesadaran yang memadai baginya untuk meredam atau bahkan menghentikan perbuatannya.
Akan tetapi, kata Reza, alih-alih menghentikan tindakannya, dalam kondisi kesadaran tersebut, GRT justru menaikkan intensitas kekerasan terhadap korban.
Reza menerangkan, hal itu menandakan, GRT sengaja tidak memfungsikan kontrol dirinya untuk menahan atau bahkan menghentikan serangan.
Baca Juga: Daftar Wilayah Indonesia yang Diprakirakan Hujan Hari Ini oleh BMKG
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.