JAKARTA, KOMPAS.TV - National Geographic Indonesia menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun Sisir Pesisir dengan mengundang beberapa peneliti dari lembaga riset serta penggiat komunitas, yang terkait dengan bidang kelautan dan pesisir di Gedung Grid Network, Perkantoran Kompas Gramedia, Palmerah Barat, Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Dalam Diskusi Sisir Pesisir ini, Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim memaparkan rencana baik National Geographic Indonesia untuk mengadakan program Sisir Pesisir.
Program Sisir Pesisir merupakan kegiatan menyurvei kondisi pesisir di seluruh Indonesia. Untuk itu, perlu dirumuskan bersama lokasi mana saja serta metode dan parameter apa saja yang akan dipakai dalam kegiatan survei Sisir Pesisir ini.
Didi menceritakan, National Geographic Indonesia pernah melakukan kegiatan survei pesisir di Indonesia dengan melibatkan berbagai komunitas.
"Tahun 2007 ada kegiatan yang namanya Indonesia Reef Check. Kegiatan itu dilakukan dengan pertanyaan besarnya: Apa yang terjadi di pesisir Indonesia setelah tsunami besar menghantam kita?" kata Didi, Kamis.
Dia mengatakan Diskusi Sisir Pesisir kali ini merupakan awal dari rangkaian panjang program Sisir Pesisir yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah laporan mengenai kondisi pesisir di berbagai wilayah di Indonesia.
Baca Juga: Kumpulkan 22 Kilogram Sampah di CFD Jakarta, SayaPilihBumi Sukses Gelar Circular City Clean
"Kami ingin seluruh proses yang kita jalankan di Sisir Pesisir ini akan menjadi rangkaian komunikasi yang akan kita publish (publikasikan, -red) secara intensif dari mulai hari ini sampai kita menyelesaikan laporan kita. Dan semua pihak yang dilibatkan akan punya peran dalam publikasi ini," ujarnya.
Didi berharap kegiatan Sisir Pesisir nanti bisa menciptakan platform sains khalayak (citizen science) sebagai wadah semua komunitas dan masyarakat di berbagai wilayah pesisir Indonesia untuk melaporkan kondisi terkini pesisirnya secara langsung dan berkelanjutkan dengan parameter dan metode yang mudah dan telah disepakati.
Selain itu, Didi berharap hasil survei Sisir Pesisir ini bisa dipublikasikan dalam publikasi spesial dari National Geographic Indonesia, baik dalam berbentuk buku maupun edisi khusus di majalah.
"Rencananya kami juga akan mengeluarkan peta administratif, peta sebaran dan peta seni, peta grafis yang menggambarkan report yang berhasil kami buat," jelasnya.
Rencana besar National Geographic Indonesia ini mendapat sambutan baik dari para peneliti dan pegiat komunitas yang hadir dalam Diskusi Sisir Pesisir.
Baca Juga: Soal Ekspor Pasir Laut, Jokowi: Itu Pasir Hasil Sedimentasi yang Ganggu Pelayaran dan Terumbu Karang
"Saya mengucap terima kasih untuk National Geographic Indonesia yang sudah menginisiasi untuk sama-sama kita lihat kondisi pesisir kita," kata Ketua Kelompok Penelitian Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang, Pusat Penelitian Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Frensly D Hukom.
Menurut Frensly, model penyurveian pesisir perlu dibuat lebih sederhana agar mudah diikuti masyarakat. Kompleksitas model survei, kata dia, sebaiknya berbeda dengan model yang dipakai para peneliti profesional.
"Ketika teman-teman yang punya interest di bidang kajian ilmiah itu tidak ada, masyarakat setempat yang ada di situ bisa melakukan (penyurveian) secara berulang-ulang kali," ujarnya.
Frensly menekankan pentingnya mengedukasi masyarakat pesisir terkait fungsi terumbu karang bagi kehidupan agar mereka semakin melindunginya.
Baca Juga: Lemhanas Sebut Aturan Ekspor Pasir Laut Atasi Masalah Sedimentasi yang Ganggu Pelayaran
Budi Prabowo, peneliti perikanan terumbu karang dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB), juga mengaku siap mendukung program Sisir Pesisir ini.
Dia menjelaskan kondisi berbagai wilayah pesisir dan masyarakat pesisir di Indonesia unik serta memiliki isu yang berbeda-beda. Ia memberikan contoh, kondisi pesisir di Pulau Mandangin, Madura.
"Pulau Mandangin ini sangat terdampak sekali sama kegiatan pesisir masyarakatnya yang doyan coral mining (penambangan karang), sand mining (penambangan pasir), setelah itu buang sampah," jelas Budi.
Kegiatan penambangan serta sampah, kata dia, telah merusak banyak terumbu karang di Pulau Mandangin.
Di sisi lain, peneliti senior bio-ekologi terumbu karang di Pusat Penelitian Oseanografi BRIN, Muhammad Abrar, mengatakan pentingnya membangun jaringan agar bisa mendapatkan banyak data dalam kegiatan pemantauan atau survei terumbu karang di berbagai pesisir di Indonesia.
Abrar memberi contoh kegiatan pemantauan karang yang pernah dilakukan oleh Yayasan Reef Check Indonesia pada tahun 2016.
Mereka menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia dan dibantu oleh para peneliti BRIN, yang saat itu masih bernama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta melibatkan peran komunitas atau masyarakat setempat.
"Di 2016 ini dengan membangun networking itu, yang melaporkannya cukup banyak. Ini rata-rata dilakukan oleh divers (penyelam), oleh orang-orang yang snorkeling, oleh penumpang boat. Jadi cukup banyak data yang terkumpul karena banyak yang melaporkan dan hampir di seluruh perairan Indonesia," papar Abrar.
"Mungkin kekuatan ini yang saya kira Sisir Pesisir akan bangun nanti. Saya kira ini sangat bagus sekali. Yang penting bagaimana membangun jejaringnya ke depan," tegasnya.
Peneliti ahli madya bidang ekologi mangrove di Pusat Penelitian Oseanografi BRIN, Yaya Ihya Ulumuddin, menjelaskan, ekosistem pesisir tidak hanya terdiri dari terumbu karang, namun juga lamun dan mangrove.
Ia menyebut, banyak spesies mangrove di Indonesia yang belum teridentifikasi dan terdata.
"Di Merauke, saya pernah menemukan satu jenis mangrove yang belum pernah saya lihat di mana pun," ungkap Yaya.
Ia mengatakan, berdasarkan data historis, banyak ekosistem mangrove di Indonesia yang rusak bahkan tergusur akibat aktivitas manusia, mulai dari pembukaan lahan untuk permukiman, pertambangan, hingga perkebunan sawit.
Jadi, lanjut dia, mangrove dan ekosistem pesisir sangat terpengaruh oleh pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas mereka.
Yaya mengatakan keberadaan vegetasi mangrove perlu dilindungi karena memiliki banyak manfaat, di antaranya untuk mencegah abrasi, bencana alam banjir rob, tempat satwa laut hidup dan berkembang biak, hingga menyerap karbon di udara.
Selain itu, mangrove juga bisa dimanfaatkan untuk ekowisata dan dijadikan arang. Ia mengeklaim arang mangrove sangat panas, tahan lama, dan memiliki aroma yang wangi.
Untuk mencapai tujuan program Sisir Pesisir dalam meningkatkan kelestarian alam serta menyejahterakan penduduk pesisir, Didi Kaspi Kasim menegaskan pentingnya kolaborasi.
"Harus berkolaborasi. Enggak bisa bekerja dari sudut pandang media saja, karena kita tidak punya kapabilitasnya dan jangkauan kami terlalu kecil kalau bekerja sendiri," tegasnya.
Senada, Manager Divers Clean Action, Agung Ramos, mengatakan komunitasnya siap terlibat dalam program Sisir Pesisir.
Agung menuturkan, Divers Clean Action juga punya platform citizen science yang bergerak di bidang pengumpulan sampah laut.
Selain itu, ia punya jaringan pemuda dari seluruh provinsi Indonesia yang merupakan alumni dari program lokakarya yang pernah mereka selenggarakan.
"Jadi, kalau misalnya kita punya program (Sisir Pesisir) yang ke depannya mau di beberapa wilayah, nanti kami mungkin bisa bantu. Ada alumni program kami, jadi nanti kita bisa ajak bareng kolaborasi untuk pengambilan data," tutur Agung.
Dalam acara Diskusi Sisir Pesisir, hadir pula perwakilan dari komunitas Sea Soldier, Beach Clean Up, Fisheries Diving Club, serta Stand Up Paddle Indonesia. Mereka semua menyambut baik ide ini dan siap berkolaborasi dalam program Sisir Pesisir yang sedang digagas oleh National Geographic Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.