JAKARTA, KOMPAS.TV - Tiga pelaku penganiayaan David Ozora, yakni Mario Dandy, Shane Lukas, dan AG tidak layak mendapatkan penyelesaian hukum melalui mekanisme restorative justice atau jalan damai.
Alasannya, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana, ancaman hukuman pidana terhadap Mario Dandy dan Shane Lukas melebihi batas yang telah diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020.
Di dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa salah satu syarat umum restorative justice ialah "Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun".
Tersangka Mario dijerat dengan Pasal 355 ayat (1) KUHP subsider Pasal 354 ayat (1) KUHP lebih subsider Pasal 353 ayat (2) KUHP lebih subsider Pasal 351 ayat (2) KUHP dan atau Pasal 76c juncto Pasal 80 Undang-undang Perlindungan Anak.
Sementara itu, tersangka Shane dijerat dengan Pasal 355 ayat 1 jo 56 KUHP sub (Pasal) 354 ayat 1 jo 56 KUHP sub (Pasal) 353 ayat 2 jo 56 KUHP sub (Pasal) 351 ayat 2 jo 56 KUHP dan atau (Pasal) 76c jo 80 UU Perlindungan Anak.
Atas sangkaan pasal tersebut, Mario dan Shane terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Baca Juga: Mengenal Restorative Justice, Berikut Dasar Hukum dan Syaratnya
Selain syarat umum, ada syarat material yang juga harus dipenuhi agar upaya restorative justice dapat dilakukan, yakni:
Menurut Ketut, perbuatan Mario dalam kasus penganiayaan David Ozora sangat keji dan berdampak luas.
“Sangat keji dan berdampak luas baik di media maupun masyarakat sehingga perlu adanya tindakan dan hukuman tegas bagi para pelaku,” terang Ketut melalui keterangan tertulis yang diterima KOMPAS.TV, Sabtu (18/3).
Baca Juga: Kejagung: Mario Dandy Cs Tak Layak Dapat Restorative Justice
Terkait AG, anak yang berkonflik dengan hukum di kasus penganiayaan ini, Ketut menerangkan, upaya damai diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Meski demikian, diversi hanya bisa dilaksanakan apabila ada perdamaian dan pemberian maaf dari korban dan keluarga korban,” kata dia.
“Bila tidak ada kata maaf, maka perkara pelaku anak harus dilanjutkan sampai pengadilan,” imbuhnya.
Di dalam UU tersebut, aparat penegak hukum diamanatkan untuk melaksanakan bukan restorative justice, melainkan diversi.
Pasal 9 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 menyebutkan, "kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya".
Baca Juga: Diversi buat AG Sulit Didapat, Kejati DKI: Akhir Bulan Perkara Maju ke Pengadilan
Selain itu, di Pasal 7 ayat (2) UU tersebut dijelaskan tentang syarat diversi, di antaranya, pelaku anak diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Adapun AG yang masih dibawah umur dalam kasus ini dijerat dengan Pasal 76c jo Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak dan atau Pasal 355 Ayat 1 jo Pasal 56 KUHP, subsider Pasal 354 Ayat 1 jo Pasal 56 KUHP, subsider Pasal 353 Ayat 2 jo Pasal 56 KUHP, subsider Pasal 351 Ayat 2 jo Pasal 56 KUHP.
Seperti dua pelaku lainnya, ancaman hukuman maksimal terhadap AG berdasarkan pasal tersebut ialah 12 tahun penjara.
Di sisi lain, pihak keluarga korban yang diwakili oleh Alto Luger menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan damai dengan pelaku penganiayaan David.
"Tidak ada (damai)," kata Alto Luger, Jumat (17/3/2023) kepada Kompas.tv.
Ia menegaskan bahwa perkara penganiayaan David akan tetap berjalan sesuai hukum.
Sumber : Kompas TV/berbagai sumber
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.