JAKARTA, KOMPAS.TV – Psikolog anak dari Universitas Indonesia Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi menjelaskan beberapa faktor yang dapat memicu dan mendorong anak tumbuh dengan sifat kekerasan.
Hal ini berkaca pada kasus penganiayaan seorang anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Mario Dandy (20) terhadap David (17) seorang anak pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor.
Penganiayaan tersebut dilakukan dengan sadis hingga mengakibatkan anak korban mengalami luka serius dan koma di rumah sakit.
Psikolog yang akrab disapa Romi itu menuturkan, orang tua yang melakukan kekerasan pada anak bisa saja membuat anak mencari tempat lain untuk mempraktikkan apa yang pernah diobservasi atau dilihat selama berada dalam lingkungan keluarga tersebut.
Baca Juga: Jangan Sampai Emosi Tak Terkontrol Berujung Masalah, Ini Tips Kelola Emosi Bagi Anak Muda
"Dan selain kekerasan dari keluarga atau kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anak, ada juga hal-hal lain yang bisa membuatnya tumbuh menjadi anak yang menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan," kata Romi, Sabtu (25/2/2023), dikutip dari Antara.
Ketika anak merasa kehadiran dirinya tidak dianggap, baik di rumah ataupun di lingkungan, maka bisa saja anak mencari tempat lain di mana dia dapat menunjukkan kekuasaan, dominasi, atau kekerasan.
Hal ini seperti yang diungkapkan juga oleh Pemerhati Anak dan Pendidikan yang juga Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti bahwa anak adalah peniru ulung.
“Anak akan meniru apa yang dia lihat dan yang dia alami,” ujarnya, Jumat (24/2).
Untuk hal ini, pengasuhan orang tua yang negatif, seperti sering terjadi kekerasan, itu yang perlu diubah. "Selama tidak berubah, maka anaknya juga tidak akan pulih," tuturnya.
Baca Juga: Mario Dandy Aniaya David hingga Koma, Sosiolog Jelaskan Alasan Anak Muda Lakukan Kekerasan
Menurut Romi, sifat dengan dominasi kekerasan juga bisa dipengaruhi oleh pergaulan. Anak yang mulanya tidak melakukan kekerasan, tiba-tiba bisa menjadi melakukan kekerasan sebab mungkin saja dia menirukan apa pun yang dilakukan oleh teman sebayanya (peers).
"Jadi banyak sekali penyebabnya, tetapi makanya kita harus mulai jangan sampai orang tua memulai untuk kemudian melakukan kekerasan pada anak di rumah," ujar Romi.
Ketika anak sudah sering melakukan kekerasan, perlu dilihat lebih jauh apakah anak memang merasa tidak nyaman di tempat yang lain sehingga dia memerlukan kelompok teman-temannya yang melakukan kekerasan tersebut.
Apabila anak ingin menunjukkan eksistensi dengan melakukan kekerasan kepada orang, maka hal ini juga harus dilihat kembali apakah konsep diri yang dimiliki anak cukup baik.
Sebagai contoh, anak merasa tidak berprestasi di sekolah dan merasa dirinya tidak diterima di sekolah sehingga membutuhkan tempat lain untuk menunjukkan eksistensi.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.