JAKARTA, KOMPAS.TV - Siang ini, Senin (9/1/2023) Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua terkait uji materiil Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu).
Sidang pokok perkara pengujian materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945 itu dijadwalkan mulai pada pukul 11.30 WIB.
Agenda sidang ialah pemeriksaan pendahuluan kedua, sedangkan acara sidang tersebut yakni perbaikan permohonan kedua.
Majelis hakim dalam sidang tersebut terdiri dari M Guntur Hamzah selaku ketua serta Manahan MP Sitompul dan Daniel Yusmic P Foekh sebagai anggota.
Sebelumnya, MK telah menggelar sidang perdana uji materiil UU Pemilu dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan I pada 15 Desember 2022. Di dalam sidang perdana itu ada sejumlah catatan dari majelis hakim untuk isi permohonan pemohon.
Sidang yang digelar di ruang sidang Gedung MK Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat itu dihadiri oleh dua kuasa hukum pemohon, yakni Maulana Malik Ibrohim dan Rino.
Dua orang menjadi pemohon uji materiil UU Pemilu, yakni Ketua Umum Partai Berkarya Muchdi Purwopranjono dan Fauzan Rachmansyah.
Baca Juga: Ini 4 Alasan PDIP Dukung Pemilu Sistem Proporsional Tertutup Meski Ditentang 8 Parpol Lain
Mengutip dari risalah sidang tanggal 15 Desember 2022, keduanya yang diwakili oleh kuasa hukum memohon MK untuk menguji Pasal 169 huruf n serta Pasal 227 huruf i UU Pemilu karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
"Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memutus permohonan pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ucap Rino, Kamis (15/12/2022).
Setelah pembacaan permohonan, majelis hakim memberikan sejumlah catatan kepada pemohon. Di dalam persidangan tersebut, dua pengacara pemohon mengaku baru pertama kali beracara di MK.
Hakim Manahan menyatakan, pihak pemohon memerlukan arahan yang lebih rinci terkait penyusunan permohonan tersebut. Ia juga memberikan sejumlah catatan.
Salah satu poin catatan hakim ialah pemohon harus menguraikan norma dari dua pasal UU Pemilu yang dinilai bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional dengan Pasal 7 UUD 1945.
Baca Juga: PDIP Respons Pertemuan 8 Parpol Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Kita Hormati
"Apakah ada hal-hal lain itu yang perlu Saudara pertajam, ya, dalam menguraikan di mana inkonstitusionalitas yang Saudara kemukakan yang dikandung oleh dua pasal tadi? Itu yang harus Saudara kemukakan, jangan langsung mengkonfrontir, ya, norma-norma tadi itu ya, yang Saudara uji itu dengan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ini," jelas Manahan.
Selain itu, Hakim Ketua Guntur juga memberikan catatan, salah satunya bahwa pemohon perlu menjabarkan keterkaitan inkonstitusionalitas dari dua pasal di dalam UU Pemilu dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon.
"Ujungnya belum kelihatan kaitannya dengan kerugian konstitusional apa yang Anda merasa dirugikan dengan norma-norma yang Anda pandang kontradiktif," urai Guntur.
"Nah, ini perlu juga dielaborasi (dijabarkan -red), sehingga hakim nanti bisa tahu, 'oh, ini kerugian yang dilakukan', baik kerugian faktualnya maupun juga kalau itu kerugian potensial," imbuhnya.
Ia menambahkan, kerugian yang dialami oleh pemohon harus dipertegas meski secara sporadis sudah terlihat di dalam permohonan yang dibacakan oleh kuasa hukum.
Atas berbagai masukan dari majelis hakim itu, pemohon pun mengirimkan dokumen Perbaikan Permohonan sebanyak empat rangkap yang dikirimkan ke MK pada 27 Desember 2022.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.