JAKARTA, KOMPAS.TV – Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih separuh kolonial karena belum bersih dari paasal-pasal kolonial.
Penilaian tersebut disampaikan oleh Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (7/12/2022).
Usman berpendapat bahwa pasal-pasal yang ada dalam KUHP baru tersebut sebagian masih peninggalan kolonial.
“Sebagai contoh, pasal tentang penghinaan terhadap presiden, kalau kita bandingkan dengan pasal tentang penghinaan terhadap Ratu Belanda misalnya di masa itu, masih sama, mirip,” jelasnya.
“Bahkan sekarang Belanda sudah tidak punya itu.”
Baca Juga: Dewan Pers Sayangkan Pengesahan UU KUHP: Ancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi
Pasal lain yang juga disoroti oleh Usman adalah pasal mengenai perbuatan makar, yang menurutnya sering digunakan untuk mengkriminalisasi orang-orang karena alasan politis.
“Pasal makar sering digunakan untuk mengkriminalisasi atau memenjarakan orang-orang hanya karena alasan-alasan politik.”
“Di Papua banyak sekali, di Maluku banyak sekali, menjelang pilpres kemarin, Bu Rahmawati dan beberapa tokoh politik juga dikenakan pasal makar. Jadi kalau dikatakan sudah bersih dari pasal-pasal kolonial, saya ragu. Jadi, ya separuh kolonial lah,” urainya.
Hal yang sama disampaikan oleh pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, yang menilai KUHP ini massih setengah hati lepas dari kolonialisme.
“Kalau menurut saya, ini masih sangat setengah hati. Gagal berangkat dari keinginan untuk menjadi hukum yang betul-betul lepas dari kolonialisme.”
Ia mencontohkan pasal tentang demonstrasi tanpa pemberitahuan, yang sebenarnya sudah tercantum dalam Pasal 510 dan 511 KUHP lama, tapi tidak berlaku lagi sejak tahun 1999, kini justru diberlakukan kembali.
“Pasal lama di 510 dan 511 di KUHP yang sekarang berlaku, yang peninggalan kolonial, yang nyatanya sudah tidak berlaku, sekarang jadi berlaku lagi.”
“Malah yang tadinya sejak 1999 sudah tidak diberlakukan,” tuturnya.
Bivitri juga menyoroti pasal-pasal tentang delik pers dan penyebaran berita bohong, yang juga masih ada dalam KUHP baru.
“Saya ingin bilang bahwa dalam melihat KUHP ini kita harus mempertimbangkan paradigmanya.”
“Kita bisa bilang bahwa ini hanya bisa diadukan oleh keluarga, misalnya tentang kohabitasi,” lanjut Bivitri.
Baca Juga: Interupsi dan “Walk Out” Warnai Pengesahan RKUHP di Paripurna DPR
Tapi, kata dia, kita harus pertanyakan lebih lanjut, mengapa pasal-pasal itu tetap ada dan dipertahankan.
“Kalau memang tidak mau digunakan sehingga dimoderasi sedemikian rupa, kenapa tidak dicabut saja.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.