SURABAYA, KOMPAS.TV - Hakim nonaktif PN Surabaya Itong Isnaeni Hidayat melalui kuasa hukumnya meminta dibebaskan dari segala dakwaan jaksa dan dikeluarkan dari tahanan.
Pernyataan itu sebagaimana disampaikan penasihat hukum Hakim Itong, Mulyadi dalam sidang pembacaan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) terkait dugaan tindak pidana gratifikasi suap.
Mulyadi mengatakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, tidak tepat dijeratkan kepada terdakwa.
Sebab, dalam nota dakwaannya, Itong disebut sebagai terdakwa tunggal, alih-alih turut serta secara bersama-sama melakukan dugaan korupsi sebagaimana dakwaan JPU. Mulyadi menilai perumusan itu cenderung kontradiktif dan melanggar kaidah hukum pidana tentang penyertaan.
"Kesimpulan dari eksepsi kami adalah kami meminta dakwaan harus dibatalkan dan majelis hakim bisa memerintahkan JPU untuk mengeluarkan Itong Isnaeni dari penjara," ujar Mulyadi, seperti dilansir dari Surya.co.id, Selasa (28/6/2022).
Lebih lanjut, Mulyadi menerangkan bahwa kliennya yang diseret ke meja hijau dalam dugaan suap ini hanya didasarkan pada keterangan Panitera Pengganti (PP), Hamdan.
Baca Juga: 5 Fakta Sidang Perdana Dugaan Suap Hakim Itong, Ajukan Eksepsi hingga Dijerat Pasal Berlapis
Tolak pemecahan perkara
Atas hal itu, ia menyebut dakwaan dari JPU tidak berdasar dan terukur, sehingga dia merasa bahwa dakwaan itu patut dibatalkan. Selain itu, Mulyadi juga menolak pemecahan perkara atau splitsing.
Menurut pihak terdakwa, jaksa telah melakukan splitsing atau pemisahan berkas dakwaan yang tidak sesuai dengan pasal 142 KUHAP. Demikian pula dengan uraian surat dakwaan bahwa terdakwa melanggar Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP, yaitu bersama-sama dengan terdakwa Mohammad Hamdan dalam kapasitas sebagai Panitera Pengganti.
Ia menilai jika kliennya didakwa bersama-sama dan bukan perseorangan.
"Terhadap splitsing itu kami tegas menolak, karena seharusnya didakwaan itu secara bersama-sama atau turut serta. Intinya harus ada satu perkara karena itu sudah ada dalam yuris prudensinya," ujarnya.
Menurut pihak terdakwa, teknik pemisahan perkara dalam perkara delneming dan penggunaan saksi mahkota menunjukkan perkara yang kurang bukti.
Maka sesuai asas hukum, jika suatu perkara tidak cukup bukti maka harus dihentikan di tingkat penyidikan maupun di tingkat penuntutan.
"Bukannya dipaksakan dengan merekayasa hukum sehingga mencederai rasa keadilan," tegasnya.
Dalam sidang yang digelar hybrid ini, terdakwa Hakim Itong hadir secara daring dari Rutan Medaeng. Sementara para saksi dan kuasa hukum hadir secara langsung di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Singgung soal saksi mahkota
Saat menyampaikan nota keberatan, Mulyadi juga menyinggung soal Hamdan sebagai saksi mahkota dan juga terdakwa. Ia menyebut bahwa dalam surat dakwaan diuraikan bahwa Itong didakwa melakukan tindak pidana korupsi suap secara bersama-sama dengan saksi Mohammad Hamdan.
Dalam kaidah hukum pidana, seorang saksi tidak bisa dinyatakan bersama-sama melakukan tindak pidana dengan terdakwa.
"Sebab jika saksi melakukan tindak pidana, maka ia bukan hanya saksi tapi juga terdakwa. Penyusunan surat dakwaan seperti itu juga kontradiktif, di mana saksi Hamdan adalah saksi mahkota yang juga terdakwa," ungkapnya.
Baca Juga: KPK Duga Hakim Itong Aktif Dekati Berbagai Pihak Berperkara di PN Surabaya
Secara hukum, tambahnya, penggunaan saksi mahkota dilarang karena melanggar asas hukum non self incrimination sebagaimana termuat dalam Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR (International Coverant Or Civil And Political Right) yang telah diratifikasi dan disahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Diketahui, sidang perkara tindak pidana korupsi gratifikasi suap Hakim Itong Isnaeni Hidayat digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya. Dalam sidang tersebut juga hadir empat saksi yang didatangkan JPU KPK. Mereka adalah Achmad Prihantoyo, Abdul Majid Umar, H Mahmud Ali Zein dan juga Hervien Dyah Oktiyana.
Dalam perkara dugaan suap ini diketahui Itong tidak didakwa sendirian, melainkan didakwa bersama dengan Panitera Pengganti Hamdan dan Hendro Kasiono seorang pengacara, dalam berkas terpisah. Diduga total suap yang diterima dalam perkara ini mencapai Rp545 juta.
Hakim Itong dan Panitera Pengganti Hamdan pun dijerat dengan pasal berlapis. Itong Isnaeni dan Hamdan yang diduga sebagai penerima suap dijerat dengan dakwaan Kesatu: Pasal 12 huruf c UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kedua: Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Sementara, terdakwa Hendro Kasiono sebagai pemberi suap dijerat dengan dakwaan Kesatu: Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Kedua: Pasal 13 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sumber : Surya.co.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.