JAKARTA, KOMPAS.TV- Tukang bakso mendadak jadi perbincangan di jagat media sosial setelah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri blak-blakan mewanti-wanti agar tiga anaknya tidak menikah dengan tukang bakso.
Megawati Soekarnoputri menyampaikannya dalam Rakernas II PDI Perjuangan bertema "Desa Kuat, Indonesia Maju dan Berdaulat", Selasa (21/6/2022).
“Jadi ketika saya mau punya mantu nih, saya sudah bilang sama anak saya tiga (orang), awas loh kalau nyarinya yang kayak tukang bakso,” ucap Megawati disambung tawa oleh Puan Maharani dan peserta yang hadir.
“Mbak Puan ketawa, karena sorry, jadi bayangkan saya pikir koyo opo iki rupane (kaya apa ini wajahnya), maaf. Tapi bukan apa, maksud saya, manusia Indonesia ini, kenapa? Kan Bhinneka Tunggal Ika ya, jadi harus kan berpadu bukan hanya dari sisi fisik dan perasaan tapi juga dari rekayasa genetika.”
Baca Juga: Hasto Sindir Anies yang Undang Tukang Bakso: Politik Tidak Mengakar, Terlambat Bertemu Rakyat Kecil
Rupanya pidato Mega itu berbuntut panjang. Di media sosial banyak meme dan sindiran terhadap pidato sang ketua umum.
Bahkan, tak berselang setelah pidato yang ramai itu, para tukang bakso diundang ke acara rakernas dan Megawati serta jajaran pun asyik menyantap sambil diliput media.
Namun di balik dinamika yang viral tersebut, ternyata ada kisah unik dan menginspirasi dari tukang bakso.
Dilansir dari Tribun Solo, ada sebuah tempat bernama Desa Bubakan di Kecamatan Girimarto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Baca Juga: Megawati Wanti-wanti 3 Anaknya: Awas Loh Kalau Nyarinya yang Kayak Tukang Bakso
Desa ini berisi rumah-rumah megah bertingkat seperti di kawasan elit. Rumah-rumah ini adalah milik para tukang bakso yang merantau berdagang.
Sekretaris Desa Bubakan, Suparto, membenarkan 70 persen warganya merupakan perantau, dengan mayoritas berprofesi sebagai penjual bakso dan jamu.
“Penduduk Desa Bubakan ada sekitar 5 ribu orang, yang tersebar di 10 dusun. Dan mayoritas mereka adalah perantauan,” katanya, Kamis (20/5/2021).
Menurut Suparto, warga Desa Bubakan baru ramai saat hari raya atau ada acara hajatan.
Suparto lebih lanjut bercerita, Desa Bubakan sebelumnya adalah desa tertinggal. Mayoritas penduduknya Bertani.
Baca Juga: Tukang Bakso Dikenai Pajak Rp6 Juta Sebulan di Binjai: Saya Sampai Tak Bisa Tidur, Bingung
Hingga kemudian pada 1980-an, pengusaha asal Sukoharjo, Mbah Joyo mengajaknya sejumlah warga desa merantau.
“Mereka ikut Mbah Joyo, jualan jamu dan bakso. Mereka diminta menunggu cabang milik Mbah Joyo itu,” ujarnya.
Setelah belajar cara membuat dan berjualan jamu saat bekerja dengan Mbah Joyo, mereka kemudian membuka usaha mereka sendiri. Saat berwirausaha tersebut, mereka mengajak warga desa yang lain untuk bekerja di warungnya.
“Dari situ, banyak warga yang mulai merantau ke berbagai kota di Indonesia. Mereka jualan jamu dan bakso, dan sukses,” ujarnya.
Kesuksesan warga Desa Bubakan itu pun terus diwariskan ke generasi berikutnya hingga sekarang.
“Saat ini yang merantau atau meneruskan usaha keluarganya sudah generasi ketiga,” katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.