JAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Samin Tan dari jerat korupsi dilakukan atas dasar pertimbangan ganjil.
Oleh karena itu, ICW menyebut bahwa komitmen MA dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi patut dipertanyakan.
Demikian Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyoal penolakan kasasi yang diajukan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas vonis bebas Samin Tan pada tingkat pertama.
“Alhasil putusan Samin Tan pun telah berkekuatan hukum tetap dengan dasar pertimbangan ganjil, yakni tidak terbukti memberikan suap kepada mantan anggota DPR RI Eni Maulani Saragih,” ucap Kurnia Ramadhana, Jumat (17/6/2022).
Baca Juga: KPK Tunggu Salinan Resmi Putusan MA, untuk Kaji Perkara Samin Tan
Padahal, kata Kurnia, Samin Tan diduga memberikan uang sebesar Rp5 Miliar kepada mantan wakil ketua komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih terkait proses pengurusan terminasi kontrak karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (PT AKT) oleh Kementerian ESDM.
Alih-alih memberikan hukuman berat, majelis hakim di tingkat pertama justru menempatkan Samin Tan sebagai korban pemerasan.
Oleh karena itu, Kurnia mengatakan bahwa ada 3 persoalan penting yang patut disoroti atas putusan MA.
“Pertama, pertimbangan majelis hakim pada putusan kasasi tidak berdasar. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa Samin Tan tidak terbukti menjalin komunikasi dengan Eni Maulani Saragih dan memberikan uang sebesar Rp5 miliar,” ujar Kurnia.
Baca Juga: MA Tolak Kasasi KPK dalam Kasus Gratifikasi Kontrak Karya Tambang Batubara Samin Tan
“Ini dibuktikan ketika Samin Tan tidak membalas pesan WhatsApp dari Eni yang memberikan ucapan terima kasih.”
Bagi ICW, lanjut Kurnia, sulit untuk mencerna bahwa Samin Tan tidak terbukti melakukan komunikasi dengan Eni hanya dengan mempertimbangkan fakta seperti itu.
“Padahal di sisi lain, Samin Tan tidak membantah keterangan saksi Tata Maharaya, staf Eni Maulani Saragih,” ujar Kurnia.
Di samping itu, pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tata Maharaya menyebutkan bahwa ada peneriman tas dan paket yang berisi uang sebanyak tiga kali, yang diserahkan melalui staf Samin Tan, Nenie Afwani, Indri Savanti Purnamasari, dan Andreas.
Baca Juga: ICW Eksaminasi Putusan Pinangki: Jerat Pidana Bertolak Belakang dengan Tiga Kejahatan Pinangki
“Penerimaan pertama terjadi pada 3 Mei 2018 dengan jumlah uang Rp1,2 miliar, pemberian kedua pada 17 Mei 2018 dengan jumlah uang Rp2,8 miliar, dan pemberian ketiga pada 22 Juni 2018 dengan jumlah uang Rp1 miliar,” beber Kurnia.
Kedua, lanjut Kurnia, adalah soal judex juris dalam putusan MA terkait Samin Tan.
Menurut Kurnia, majelis hakim Mahkamah Agung seharusnya mampu mendalami penerapan hukum dan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama dalam perkara suap-menyuap Samin Tan dan Eni Maulani.
“Selain itu, majelis hakim Mahkamah Agung juga seharusnya lebih jeli menggali informasi dan penerapan hukum atas kepentingan dan status Samin Tan sebagai ultimate beneficial owner dari PT AKT, meskipun yang bersangkutan tidak lagi masuk dalam jajaran pengurus perusahaan,” ucapnya.
Baca Juga: Konglomerat Samin Tan Divonis Bebas dari Kasus Suap Rp 5 MIliar ke Anggota DPR
Kemudian hal ketiga yang juga patut disoroti adalah perihal majelis hakim MA mengabaikan status Samin Tan sebagai buron untuk dijadikan sebagai dasar pemberian hukuman.
Sebagaimana diketahui, pada 10 Mei 2020, KPK menerbitkan surat perintah penangkapan dan memasukkan Samin Tan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan baru diproses kembali setelah ditangkap pada tanggal 5 April 2021.
“Alih-alih menjadikannya pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman, MA justru menguatkan vonis bebas pada pengadilan tingkat pertama,” ucapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.