Lirik tersebut dibuat dalam kondisi Indonesia tahun 1950-an, yang tidak stabil secara politik dan merosot dari sisi ekonomi.
Pada tahun 1950-an, Indonesia menganut sistem parlementer dengan demokrasi liberal.
Tak ada perdana menteri yang langgeng. Mulai dari Kabinet Natsir (1951) hingga Kabinet Ali Sastroamidjojo (1955) jatuh bangun. Hal ini mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat yang terus memburuk.
Belum lagi situasi separatisme di sejumlah daerah seperti Papua dan DI/TII yang banyak memakan tenaga dan biaya.
Mengutip Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek dan Teknologi, misalnya pada masa Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952), berbagai kendala tak bisa dihadapi, seperti "adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah."
Kemudian, "masalah Irian barat belum juga teratasi. Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik
tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan".
Tercatat pula, kasus Menteri Kehakiman Mr Djody Gondokusumo (menjabat 30 Juli 1953-11 Agustus 1955) yang tersandung perkara gratifikasi dari pengusaha asal Hongkong, Bong Kim Tjhong, yang memperoleh kemudahan memperpanjang visa dari Menteri Kehakiman.
Visa tersebut ternyata dibayar dengan imbalan Rp20.000. Jaksa Agung Muda Abdul Muthalib Moro menduga uang pemberian pengurusan visa tersebut digunakan untuk membiayai Partai Rakyat Nasional pimpinan Djody.
Baca Juga: Sidang Isbat Lebaran 2022: Kemenag Undang Muhammadiyah hingga Diumumkan Pukul 19.15 WIB
Menghadapi kondisi sosial dan ekonomi sebagai dampak situasi politik, mengutip Kompas.com, pada era tersebut dikenal sejumlah kebijakan untuk memulihkan ekonomi masyarakat seperti, Gunting Syafruddin, Gerakan Benteng, Nasionalisasi De Javasche Bank, Sistem Ekonomi Ali-Baba Persaingan finansial ekonomi Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) dan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
Maka cukup beralasan bila Ismail Marzuki dalam lagu Lebarannya, pun menyisipkan sindiran terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat Indonesia saat itu.
Dia berharap para pemimpin Indonesia selamat dan rakyatnya makmur terjamin. "Minal aidzin wal faidzin maafkan lahir dan bathin".
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.