JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemberian uang atau barang jelang hari raya keagamaan atau yang dikenal dengan tunjangan hari raya (THR) sudah diperkenalkan sejak era kemerdekaan tahun 1951.
Pelopor yang memperkenalkan konsep THR yakni Perdana Menteri Indonesia ke-6, Soekiman Wirjosandjojo.
Kala itu, Soekiman menjabat mulai 26 April 1951 - 1 April 1952 dengan wakil PM Suwiryo dan Presiden RI saat itu dijabat oleh Soekarno.
Baca Juga: Serikat Pekerja Apresiasi Keputusan Menaker: Perusahaan Harus Bayar THR Sesuai Ketentuan
Saat itu, kebijakan THR merupakan bagian dari program kesejahteraan pamong praja yang sekarang dikenal dengan pegawai negeri sipil (PNS). Tujuannya, agar pamong dapat mendukung program pemerintah.
Dikutip dari Kompas.com, awalnya, THR PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka yang nantinya harus dikembalikan melalui pemotongan gaji.
Jumlah THR yang diberikan yakni Rp125 hingga Rp200, dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idulfitri.
Aturan mengenai pemberian THR PNS pada saat itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.
Baca Juga: Catat Ini, Kemnaker Buka Posko Pengaduan THR Secara Online dan Offline
Selain uang THR, PNS juga diberikan paket sembako. Sesuai aturan pemerintah saat itu, THR hanya berlaku untuk PNS, bukan pekerja swasta.
Namun, kebijakan pemberian THR mendapat kritik dari buruh, terutama organisasi buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Buruh menilai THR yang hanya diberikan kepada pamong praja sebagai tindakan tidak adil. Padahal, mereka juga sama-sama bekerja, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan negara.
Baca Juga: Cara Menghitung THR Karyawan Status PKWT, PKWTT dan Harian, Kapan Cair?
Kemudian, kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri ke-8 Indonesia, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.
Untuk mengakomodir buruh, pemerintah lewat Menteri Perburuhan S.M Abidin kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954.
Besaran THR untuk pekerja swasta adalah sebesar seperduabelas dari gaji yang diterima dalam rentang waktu satu tahun. Jumlah paling sekurang-kurangnya adalah Rp50 dan paling besar Rp300.
Namun, surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan. Banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR karena menganggapnya sebagai tunjangan pegawai yang diberikan sukarela.
Baca Juga: THR PNS 2022 dan Gaji Ke-13 Kapan Cair? Intip Besarannya dari Polri hingga TNI
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961 atau saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.
Masuk ke era Orde Baru, aturan mengenai THR mulai disempurnakan. Kini, tidak hanya PNS saja yang mendapat tunjangan hari raya, pekerja swasta juga ikut kebagian. Termasuk juga besaran dan skema THR.
Pada tahun 1994 di Pemerintahan Soeharto-Try Sutrisno melalui Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Permenaker Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.
Lewat peraturan ini, pemerintah mewajibkan semua perusahaan memberi THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal tiga bulan kerja. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi pondasi kebijakan THR hingga saat ini.
Baca Juga: Airlangga Hartarto Minta Pengusaha Beri THR Tahun Ini karena Ekonomi Membaik Sejak 2021
Di tahun 2016, pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR.
Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016. Dalam peraturan ini disebutkan, pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR.
Kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukkan karyawan tetap, tetapi juga untuk pegawai kontrak.
Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) ataupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Baca Juga: Tukar Uang Baru Mudah, Ini 6 Tips Pemesanan via Aplikasi PINTAR dari BI, untuk Persiapan Lebaran
Besaran THR yang diterima pekerja akan ditentukan berdasarkan masa kerja yang telah mereka lalui di sebuah perusahaan atau institusi.
Bagi yang sudah memiliki masa kerja minimal 12 bulan atau lebih secara berturut-turut, maka akan memperoleh THR sebesar upah atau gaji satu bulan yang terakhir diterima.
Sementara itu, mereka yang memiliki masa kerja di bawah itu akan menerima THR yang besarannya bersifat proporsional.
Jika terlambat menunaikan kewajiban tersebut kepada para pekerjanya, perusahaan akan dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Permenaker Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Baca Juga: Hore, Pemerintah Gratiskan Motor Naik Kereta Api pada Mudik Lebaran 2022
Menurut Peraturan Menaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, THR wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.