JAKARTA, KOMPAS.TV - Wacana penundaan pemilu yang bergulir belakangan ini menjadi tanda bahwa krisis konstitusi dan demokrasi tengah melanda Indonesia.
Sebagaimana yang disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P Wiratraman dalam sebuah diskusi publik yang digelar oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Selasa (1/3/2022).
Herlambang berani mengatakan demikian, karena ia melihat bahwa wacana penundaan pemilu itu tak berlandaskan hukum.
"Penundaan pemilu tidak memiliki pijakan di konstitusi kita. Konstitusi (UUD 1945) mengatur pada pasal 12 tentang keadaan bahaya yang memungkinkan penundaan," kata Herlambang.
Baca Juga: ICW: Penundaan Pemilu Berpotensi Munculkan Kepemimpinan Otoritarian dan Cederai Amanat Reformasi
"Namun, hari ini sebenarnya keadaan bahaya itu tidak terpenuhi, pandemi pun sudah (mulai) mereda," imbuhnya.
Meski begitu, menurut Herlambang, menjadikan keadaan bahaya seperti pandemi sebagai alasan untuk menunda pemilu itu juga tak sepenuhnya tepat.
"Seperti 2020 lalu, di mana wabah (virus Corona) meningkat, namun pemerintah tetap memaksakan pilkada," ungkap Herlambang yang juga merupakan salah satu peneliti di LP3ES.
Lebih lanjut, Herlambang pun menyoroti, alternatif atau kemungkinan yang bisa saja diambil oleh pemerintah untuk melancarkan upaya penundaan pemilu yakni lewat amandemen konstitusi.
Baca Juga: Gerindra Tolak Penundaan Pemilu 2024, Prabowo Akan Umumkan Sikap Resmi
Herlambang tak menampik bahwa cara itu memang bisa dilakukan untuk menunda pemilu, tapi publik pasti akan mempertanyakannya.
"Jika kita lihat secara seksama dengan pertimbangan hak asasi manusia, maka amandemen itu tidak perlu dilakukan apalagi jika semata untuk penundaan pemilu," terang Herlambang.
Oleh sebab itu, Herlambang mengingatkan, bahaya krisis konstitusi dan demokrasi akibat penundaan pemilu, jika benar-benar terjadi.
"Dalam pendekatan ekonomi politik, hukum ketatanegaraan yang disubordinasi oleh kepentingan kekuasaan dominan, akhirnya akan memberi jalan kekuasaan kian otoriter," pesan Herlambang.
"Yang kian menguatkan sistem politik kartel atau cartelized political system, sehingga melumpuhkan proses-proses demokrasi dan negara hukum," tandasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.