Di tahun yang sama, 2012, Komisi IX DPR RI melakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina. Kemudian pada 2013, draf RUU PPRT diserahkan ke Badan Legislasi DPR RI. Hingga 2014 RUU PPRT berhenti di Baleg DPR RI. Lalu pada periode 2014-2019 masuk ke dalam Prolegnas (waiting list).
Di masa bakti periode 2019-2024, RUU PPRT masuk lagi dalam Prolegnas. Kemudian masuk ke dalam RUU Prioritas 2020.
Baca Juga: Memasuki 100 Tahun Organisasi NU, Wapres Maruf Ingatkan 3 Prioritas di Muktamar
Berdasarkan survei yang dilakukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah PRT berjumlah 4,2 juta dengan tren meningkat setiap tahun.
Angka itu cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak diakui dan dilindungi.
Secara kuantitas, jumlah PRT di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia seperti India (3,8 juta) dan Filipina (2,6 juta).
Sementara secara persentase, sebagian besar PRT adalah perempuan (84 persen) dan anak (14 persen) yang rentan eksploitasi atau risiko terhadap perdagangan manusia (human trafficking).
Urgensi lain adalah karena PRT merupakan pekerja yang rentan.
Mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak. Di antaranya jam kerja yang panjang (tidak dibatasi waktu), tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial.
Ditambah pula rentan terjadi kekerasan dalam bekerja baik secara ekonomi, fisik, dan psikis (intimidasi, isolasi).
PRT juga tergolong angkatan kerja yang tidak diakui sebagai pekerja, sehingga dianggap pengangguran.
Selama ini, PRT pun tidak diakomodasi dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan Republik Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.